(Opini) Mengangkat Empat Etnis Di Sulsel Dalam Karya Musik

By Abdi Satria


Oleh Michael Adam

Mahasiswa musik Politeknik SOCA


SULAWESI  Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia. Kawasan yang dikenal dengan Ibu Kotanya yang bernama Makassar ini memiliki keanekaragaman budaya yang patut diapresiasi. Misalnya, etnis yang menjadi bagian utama di daerah tersebut.

Ada empat etnis dominan yang terdapat di Provinsi ini. Keempatnya antara lain, Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Keempat etnis tersebut memiliki masing-masing keunikan budaya yang berbeda. Namun uniknya, mereka dapat hidup berdampingan dengan segala dinamika yang terjadi.

Keempat etnis yang berdiam di Sulawesi Selatan tersebut memiliki kebudayaan musik yang kaya. Terdapat banyak nyanyian rakyat, alat musik, dan jenis-jenis ritme perkusi yang unik. Seperti misalnya lagu Iyabelale, kacaping, genrang, ritme pakkanjara' dan lainnya.

Sehubungan dengan musik etnik Sulawesi Selatan, Muhammad Irfansyah, juga dikenal dengan nama Irfan Laoki, salah satu mahasiswa jurusan musik di Politeknik SOCA mencoba untuk mengeksplorasi empat etnis dominan di wilayah tersebut. Ia melakukannya dengan pendekatan karya musik yang menggabungkan jenis-jenis musik tradisi masing-masing etnis. Dari hasil kreasinya, tercipta beberapa karya musik orisinil yang mengolaborasikan kekayaan musik etnik di Sulawesi Selatan dengan genre-genre jazz, rock fusion, pop ballad dan jenis musik instrumen perkusi. Karya tersebut disajikan pada gelaran konser bertema "Sintesis Ritme dalam Sulapa Appa Wala Suji" pada 26 Juli 2018 lalu, di Concert Hall Politeknik SOCA. 

Ada lima karya orisinil yang dimainkan oleh Irfan pada konser tersebut. Pertama, karya berjudul Tunrung dan Tumbu', dengan nuansa paduan ritme perkusi etnik dari Toraja, Bugis, Mandar dan Makassar. Karya ini terlihat dimainkan dengan format instrumen perkusi, yaitu sepasang gendang Makassar dan digabungkan dengan drum set. 

Kedua, karya berjudul Kasangkean, berasal dari bahasa Toraja yang berarti amarah. Penciptaan musik ini terinspirasi dari falsafah api dalam konsep sulapa' appa' masyarakat Sulawesi Selatan. Dalam sajiannya, terdengar permainan ritme gendang Bugis dan Toraja yang dominan dimainkan dengan birama 6/8. Kesan amarah pada karya ini dipertegas dengan permainan rock fusion. 

Karya selanjutnya yaitu Wae, dalam bahasa Bugis berarti air. Musik ini juga terinspirasi dari salah satu unsur dalam konsep kosmologi sulapa' appa', yaitu air. Berbeda dengan karya sebelumnya yang berjenis instrumental, karya ini disajikan dengan bentuk lagu berlirik, bergenre pop ballad, namun kental dengan ritme perkusi Bugis dan Mandar. 

Karya keempat berjudul Anging yang berarti udara/angin. Udara masih termasuk salah satu unsur yang dibahas dalam sulapa' appa'. Pada karya ini, kesan udara ditunjukkan dengan ambience music serta penggunaan reverb hall sound pada gitar elektrik. Di samping itu, juga terdapat ritme perkusi Mandar dan Makassar. Sehingga, kesannya mengarahkan untuk merasakan udara di tengah kebudayaan Sulawesi Selatan. 

Karya yang terakhir berjudul Buttayya, merupakan bahasa Makassar yang berarti bumi. Bumi dianalogikan sebagai tanah yang terdapat pada konsep sulapa appa' lainnya. Buttayya dimainkan dengan format full band dengan genre musik fusion. Dengan teknik grouping, Irfan menyajikan permainan ritme perkusi Makassar dan Toraja. Karya ini juga mempertunjukkan permainan gendang dan drum secara atraktif. 

Dengan menyaksikan konser musik ini, kita diantarkan untuk merasakan kekayaan musik, khususnya ritme musik perkusi etnik Sulawesi Selatan. Selain itu, upaya Irfan mengolaborasikan kekayaann musik tersebut dengan berbagai genre musik populer menciptakan kesan estetis tersendiri dari segi kebaruan warna musik. Begitu juga dengan penggunaan falsafah sulapa' appa' sebagai konsep yang mengisinspirasi karya-karya tersebut, melahirkan satu pengetahuan tentang kekayaan budaya Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan. (@)