(Opini) Kemana Cinta Akan Pergi Ketika Cantik Itu Hilang?

By Admin


Oleh: Arisnawawi

KEMUNCULAN cinta di era modern tidak lahir secara natural. Namun muncul dari pancaran material. Cinta keseringan muncul dari isi dompet, yang lain muncul dari wajah yang licin, hidung yang mancung, alis yang berombak, lirikan mata bak bola ping-pong dan sejenisnya. Cinta pada gejala modern menempel pada sesuatu yang material.

Memang sih gejolak asmara yang diistilahkan sebagai cinta lumrah pada manusia, selama ia normal. Cinta berasal dari sekumpulan emosi serta perilaku yang ditandai dengan adanya keintiman, gairah serta komitmen. Cinta mengharuskan pelibatan perhatian, kedekatan, perlindungan, daya tarik, kasih sayang, dan kepercayaan.

Inti daripada cinta ada pada relasi saling menyempurnakan. Dihadapan cinta, semua terlihat kerdil dan mudah. Jika cinta digenggam oleh orang yang tepat, maka cinta dapat merobohkan kemalasan, kearogansian, kekikiran dan sejenisnya. Sebaliknya, cinta akan menyengsarakan, mengekang, dan membinasakan jika diolah secara serampangan.

Sehat atau tidaknya sebuah cinta bergantung dari pengelolahan rasa (hati) dan rasio (akal). Cinta tanpa melibatkan rasio akan mem “bucin” (budak cinta), sedang cinta tanpa melibatkan hati akan me “matre” (materialistis). 

Cinta bukanlah relasi mematikan. Bukan juga tempat pembantaian hati dan akal. Melainkan tempat persemaian keduanya yaitu relasi menghidupkan. Jangan menjadi manusia yang diasingkan dalam cinta. Raih kemerdekaan cintamu melalui kombinasi rasa dan rasio.

Penyimpangan terhadap cinta lumrah dilakukan oleh siapapun. Kebanyakan sih datang dari kalangan anak muda (17-25 tahun) yang didominasi oleh generasi Z. Pemikirannya yang masih labil tanpa dibarengi keteguhan hati kerap menjerumuskannya dalam keteragisan cinta. 

Hampir dipastikan, pernikahan di usia muda selalu dicurigai sebagai pasangan yang “kecelakaan” (hamil duluan). Rambu-rambu dalam cinta perlu diketahui sebelum mencari atau membuka ruang cinta. 

Zaman ini pula cinta mengalami dekonstruksi makna. Cinta telah disamakan dengan kecantikan, sedang kecantikan selalu dilihat dari perpektif fisik. Materialisme telah memperbudak cinta dan mengurungnya dalam kerengkeng besi kecantikan fisik. 

Keotentikan cinta menjadi kabur. Cinta dan cantik telah diseret dalam bentuk material yang kasar, temporer, dan mudah hilang. Engkau tak akan cantik tanpa memiliki fisik yang aduhai dan tak akan merasakan cinta tanpa pelibatan harta yang mentereng. Kira-kira begitu, kalau masih ada lagi sila ditambhakan hhh.

Berceloteh tentang cinta di era modern dapat membuat kita tergelincir dalam pertukaran-pertukaran simbolik. Cinta dan cantik selalu di propagandakan dengan amat materialistik. 

Seseorang yang akan membuktikan cintanya selalu digambarkan (melalui iklan) sebagai orang yang memberi seuntai bunga mawar, cincin berlian, cokelat dan sebagainya. Sedang cantik ditampilkan sebagai orang yang putih dengan cream, wangi dengan parfum, langsing dengan obat, rambut hitam lurus dengan sampo dan lain-lain.

Dekonstruksi makna cinta dan cantik tersebut tidak lain dan tidak bukan untuk kepentingan penjualan prodak kapital. Bernilai atau tidaknya cantik dan cinta sangat bergantung dari persentasi kontaminasi materi. Kebanyakan kita larut didalamanya, sebagai pelaku dan korban. Anehnya, kita tidak sadar dan kalaupun sadar, sadarnya tidak bertahan lama.

Sekarang, cinta dan cantik terombang ambing dan kehilangan arah menuju kesucian. Bucin tidak lagi murni karena terbantainya rasio/akal atau penggunaan hati yang membabi buta. Bucin di era generasi Z memancar dari kegilaan fisik tubuh dan kemewahan harta. 

Kemana cinta akan pergi ketika cantik itu hilang? kalau engkau hanya mencinta dari rasio yang materialistis maka cinta akan ikut berpamitan. Kalau engkau hanya mencinta dari hati yang mencandu maka cinta akan memangsamu. Cinta tak akan keluyuran ketika cantik itu hilang manakala engkau mencinta dengan hati yang dibarengi dengan akal, atau sebaliknya.

“Cinta yang sempurna adalah mereka yang memiliki unsur rasa/hati dan dan rasio/akal” (*)

Penulis adalah Budayawan