(Opini) Kebebasan Pers dan Jurnalisme Akal Sehat
By Admin
Media dan Permasalahannya
LAJU PERKEMBANGAN media massa, baik itu yang berbasis cetak, media elektronik maupun media online di Indonesa demikian cepat dan semarak. Sejak reformasi 1998 lalu bergulir, kehadiran media massa di negeri ini tumbuh sebagai sebuah kekuatan sosial, ekonomi dan politik serta telah menjadi demikian penting. Bisa dikatakan bahwa saat ini, media massa benar-benar telah menancapkan “akar kekuatannya” sebagai pilar demokrasi. Media saat ini juga telah menjadi salah satu instrument penting dalam memelihara iklim perimbangan kekuatan serta menjaga ruang-ruang chek and balance dari sistem demokrasi kita.
Memang, tak bisa dipungkiri bahwa “anak kandung” reformasi ini adalah terbukanya kembali kran kebebasan pers serta tumbuhnya kembali spirit dan gairah dari insan-insan media dalam meletakkan fungsi internal maupun eksternalnya secara mandiri dan independen. Dengan demikian, seiring dengan semakin besarnya ruang kiprah dan kebebasan yang dimiliki oleh media, maka dengan sendirinya, tanggung jawab sosial, ekonomi serta politik yang menyertai semua itu juga semakin besar.
Walaupun demikian, pasca reformasi sejak 1998 lalu, kebebasan pers di Indonesia, belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Di penghujung 2014 lalu, dari laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), tercatat Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama karena aktivitas jurnalisme yang dilakukan harian berbahasa Inggris ini. Tindakan polisi ini menafikan putusan Dewan Pers yang sudah ‘menghukum’ The Jakarta Post untuk meminta maaf dan melakukan koreksi. Dan harian ini sudah melakukan prosedur yang diatur berdasarkan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 .
Hingga saat ini kasus kekerasan terhadap jurnalis masih kuat menghantui kita. Walaupun terbilang telah menyusut namun tidak ada jaminan kekerasan terhadap pers sewaktu-waktu meledak. Intimidasi, ancaman, telepon gelap, teror, pelecehan, pemukulan, pengusiran, pelarangan liputan, perusakan kantor hingga perampasan kamera masih terus terjadi.
Sangat dipahami bahwa keberadaan media massa bukanlah berasal dari ruang “tabula rasa” yang steril dengan pengaruh dan perkembangan lingkungan, sosial politik,ekonomi dan budaya dari masanya. Media adalah sebuah “produk” dari zamannya. Inilah yang menyebabkan media harus senantiasa melakukan semacam retrospeksi dan introspeksi diri serta terus melakukan pembenahan diri baik dari sisi internal maupun ekternalnya.
Dengan begitu, situasi, iklim serta tantangan permasalahan yang hadir pada media, baik media cetak, media elektronik dan media on line haruslah kita lihat dalam perspektif zaman serta kontektualitas permasalahan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang melingkupinya. Semua itu disebabkan karena setiap zaman dengan perkembangan nilai-nilainya senantiasa memiliki tantangan tersendiri. Dan bila kita tidak meletakkannya pada nilai-nilai tersebut, maka pijakan kita untuk mencari solusi dari tantangan dan permasalahan media telah keliru.
Jurnalisme Akal Sehat
Dalam konteks kekinian ini, pijakan permasalahan yang dihadapi media bisa kita pilah secara sederhana menjadi dua bagian, yakni permasalahan eksternal dan permasalahan internal. Pada masalah eksternal, hal yang paling pokok untuk kita cermati adalah bagaimana meletakkan media dalam ruang-ruang zaman di mana perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) semakin terbuka dan tak memiliki batas territorial lagi. Hal ini menjadikan media harus semakin peka dan mampu menangkap seluruh esensi perkembangan global ini.
Pada bingkai ini, permasalahan yang menjadi tantangan terberat media adalah bagaimana meningkatkan profesionalisme serta kualitas sumber daya manusia (SDM) dari semua insan media. Zaman dengan keterbukaan informasi seperti saat ini dengan sendirinya menjadikan masyarakat semakin kritis dan cerdas dalam memilah dan memilih informasi. Dengan demikian, arena kompetisi juga menjadi semakin ketat dan tinggi. Di sinilah peran insan media menjadi demikian penting. Permasalahan eskternal yang cukup besar ini juga berkaitan dengan semakin tingginya ekspektasi masyarakat terhadap produk-produk media yang berkualitas.
Kebebasan arus informasi menjadikan masyarakat kerap diperhadapkan pada “tumbulensi psikologis” dalam menyikapi nilai-nilai kebenaran dalam sebuah informasi. Contoh paling faktual adalah bagaimana saat Pemilihan Presiden 2014 lalu membuat arus berita politik demikian “liar” dan cenderung tak lagi mendidik yang terus berlanjut hingga tahun 2018 kini. Masyarakat disuguhkan sebuah “arena” pembangunan opini lewat media yang tak lagi memiliki batas antara fakta dan fitnah. Efek ini bisa menggiring media menjadi lahan provokasi serta menyebabkan masyarakat tidak lagi mempercayai nilai-nilai kebenaran dalam sebuah berita. Demikian pula pada berbagai event-even pilkada diberbagai daerah.
Dengan demikian, mau tak mau, media pun harus bergerak melakukan reintrospeksi diri, menjadi inovatif serta senantiasa menjadi peka terhadap setiap perubahan zaman. Kerja media bukan lagi hanya terbatas pada bagaimana menjadi “saluran informasi” semata, tetapi juga menjadi inovator-inovator dalam lingkungan sosial dan budaya kemasyarakatannya. Dalam situasi zaman di mana arus perubahan demikian tinggi, media harus tetap menjadi lokomotif yang mencerdaskan dan memberi solusi. Bukan menjadi perusak harmoni apalagi menjadi media provokasi.
Di sisi lain, dalam permasalahan internal, bagaimanapun, media adalah sebuah wadah kerja dan usaha. Media memang memiliki ciri khas yang unik dibanding dengan jenis usaha maupun profesi yang lain. Keberadaan media adalah sebuah persinggungan yang tak dapat dipisahkan dari dua sisi yakni sisi sosial kemasyarakatan dan sisi bisnis. Dengan menyatukan dua sisi ini, menjadikan media meletakkan “dua kaki”-nya di tempat yang berbeda.
Di sinilah persoalan kadang timbul dan terus membanyangi wajah keberadaan media massa kita. Tidak dapat disangkal bahwa “peta” media massa kita di negeri ini memang masih menyisakan jurang dan ruang-ruang kualitas antara media masih demikian lebar. Ini menyebabkan kualitas profesional para jurnalis juga masih menjadi layak diperbincangkan.
Pada media yang telah mapan dan sudah mengukuhkan dirinya sebagai media mainstream, persoalan kualitas sumberdaya manusia (SDM) mungkin telah selesai. Namun itu tidak terjadi pada media massa yang keberadaannya memang kerap dipertanyakan. Media massa yang hadir dengan indikasi tujuan tertentu dan kerap mengabaikan landasan etika profesional jurnalisme yang sehat. Banyak kalangan yang menyebut media seperti ini sebagai media “abal-abal”, namun bagaimana pun kehadiran media seperti ini tak bisa kita abaikan begitu saja. Dalam perspektif jurnalisme, akal sehat dan profesionalisme adalah pertaruhan kepercayaan kita pada masyarakat dan menjadi “nyawa” dari hidup matinya media massa kita* (Makmur Gazali, penulis adalah jurnalis)