Menteri Agraria: Percepatan Transformasi Pertanian Punya Tiga Tantangan Besar

By Admin

Foto/Net  

nusakini.com - Menteri Agraria dan Tata Ruang Indonesia Sofyan Djalil menyampaikan percepatan transformasi pertanian harus menghadapi tiga tantangan besar.

Menurutnya, Berdasarkan data statistik, ada 28.900.000 orang terdaftar sebagai petani subsisten, sementara hanya ada 2,1 jutaan dikategorikan sebagai petani yang terampil.

"Ini adalah ketidakseimbangan dalam alokasi sumber daya faktor produksi, yaitu tanah dan petani terampil, ketidakseimbangan dalam berbagai tanaman yang ditanam, dan inefisiensi dalam pengolahan pasca panen dan logistik," ujarnya pada acara Responsible Business Forum (RBF) on Food and Agriculture 2017 di Jakarta, Rabu (15/3/2017). 

Sofyan menambahkan, masalah sumber daya tanah berasal dari kenyataan bahwa produksi pangan terkonsentrasi di Pulau Jawa, di mana memiliki tanah paling subur, jaringan irigasi terbaik, serta memiliki proporsi tertinggi angkatan kerja terampil di negara ini. "Sistem distribusi untuk produk makanan lebih berkembang daripada di luar Jawa karena jarak dekat relatif dari sumber produksi ke pasar akhir," ujarnya.. 

Meski begitu, kata Sofyan, Pulau Jawa adalah pulau yang paling padat penduduknya di mana lahan individu kepemilikan kurang dari 0,3 hektar per kapita. Tren pertumbuhan konversi lahan untuk proyek-proyek industri dan perumahan membuat lahan pertanian baru sulit atau mahal untuk menemukan. 

“Saat ini sektor pertanian Indonesia masih memilih untuk memproduksi beras dibandingkan dengan tanaman lainnya. Di antara tiga tanaman pangan utama, padi telah menerima prioritas tertinggi dalam hal kebijakan pangan nasional, dua lainnya adalah jagung dan kedelai” ungkapnya..  

Menurutnya, tanaman bernilai tambah yang lebih tinggi lainnya menerima sedikit perhatian. Sehingga biasanya lebih rentan terhadap serangan hama mereka dibandingkan dengan beras sehingga perlu perawatan lebih berhati-hati. 

Lanjut dia menerangkan, daripada memberikan bantuan dalam peralatan, benih hibrida, dan sebagainya, kebijakan harus memungkinkan setiap individu petani atau kelompok petani memutuskan apa yang paling cocok untuk diri mereka sendiri. Menurut dia, saat ini pemerintah hanya fokus pada mendukung sarana untuk memperoleh kebutuhan mereka.  

"Prinsip yang sama berlaku dari pilihan produk hortikultura untuk menanam, sampai ke pilihan keterampilan untuk meningkatkan. Kebijakan ini adalah awal baris untuk membuat industri pertanian yang lebih terintegrasi dari hulu ke hilir, dalam rangka meningkatkan nilai tambah dari produksi petani," pungkas Sofyan. (p/mk)