Menjalin Harapan melalui Perhutanan Sosial di Pesisir Mangrove

By Admin


Oleh: 

Swary Utami Dewi dan Arif Sudarmanto

nusakini.com - Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam bentuk Padat Karya Mangrove(PKM) merupakan program Kementerian Lingkungan Hidup dan.Kehutanan (KLHK), khususnya Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL). Kegiatan yang ditujukan untuk memberi stimulus ekonomi kepada masyarat pesisir mangrove di masa pandemi ini membuatku menemukenali suatu Kelompok Tani Hutan (KTH) di Bangka Tengah. Ya, gegap gempita kegiatan penanaman mangrove bagi kelompok masyarakat pesisir membuatku bertemu KTH Gempita.


Gempita sejak awal tercatat istimewa. Dari total 500 Ha PEN penanaman mangrove, 50 ha-nya berlokasi di Hutan Lindung Pantai Kurau, tepatnya di Desa Kurau Timur, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Luasan ini adalah yang terluas untuk program PEN mangrove KLHK di provinsi ini. Menariknya, beberapa jenis bibit mangrove yang diperlukan, misalnya jenis Rhizophora, Soneratia dan Bruguera diperoleh dari hutan lindung setempat. Direncanakan total 165.000 batang ditanam sampai akhir Oktober ini.


Rasa penasaran membuatku menjejakkan kaki ke desa ini. Dengan ditemani Kepala BPDASHL Batu Rusa Cerucuk,Tekstiyanto, dan pendamping dari balai yang sama, Arif Sudarmanto, dari serta Jauhari dari Kelompok Kerja Perhutanan Sosial Provinsi (Pokja PPS) perjalanan ke petani kali ini terasa menyenangkan.


Keramahan penduduk desa langsung menyapa saat aku duduk di pondok kerja Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (HKm) Gempita. HKm ini mendapatkan akses legal tahun 2016 dari KLHK dengan luasan kelola 148 ha di Hutan Lindung Pelawan. Lalu mengalirlah kisah ini.


Dulu, bagi masyarakat Desa Kurau Timur, hutan lindung merupakan kawasan yang tabu untuk disentuh. Ketika ditanya alasannya, Maliki, sang ketua KTH, menjawab bahwa masyarakat desa di kawasan Hutan Lindung Desa Kurau Timur terkenal taat hukum. "Karena diwanti-wanti bahwa hutan lindung harus dijaga dan tidak boleh dimasuki, maka masyarakat tidak berani mengganggu." Hasilnya memang terlihat jelas dengan rimbunan mangrove di pesisir desa ini.


Apa yang dijelaskan Maliki, diamini oleh Jasila, sang Kepala Desa yang ramah dan cerdas. Menurutnya masyarakat memang terbiasa untuk mematuhi himbauan pemerintah. Ada fungsinyakah bagi masyarakat? "Jelas ada, Bu. Hutan mangrove ini adalah benteng kami," ujarnya. Disebutnya "benteng" karena mangrove yang rimbun adalah penjaga desa di pesisir ini dari ancaman abrasi. Selain itu, letak desa yang langsung berhadapan dengan lepas pantai memerlukan mangrove yang subur dan kuat untuk menahan gempuran gelombang tinggi dan tsunami. Dan mangrove di hutan lindung ini mampu berfungsi sebagai penahan alami tsunami.


Desa yang dihuni 3000-an jiwa ini memang telah lama menuai hasil dari mangrove yang subur. Hasil ikan, kepiting bakau dan udang berlimpah yang dinikmati mayoritas penduduk desa. Lebih dari 85 persen penduduk Kurau Timur adalah nelayan tradisional.


Pandangan penduduk tentang hutan lindung yang "tabu dijamah" kemudian berubah. Pendamping dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Sungai Sembulan menjelaskan bahwa hutan lindung bisa dikelola oleh masyarakat secara lestari. Artinya di kawasan mangrove ini masyarakat bisa memanfatkan jasa wisata dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu secara lestari, serta bentuk-bentuk lain yang sesuai dengan kaidah pengelolaan hutan lindung.


Sosialiasi ini menjadikan KTH Gempita berinisiatif mengelola hutan mangrove di pesisir desanya menjadi kawasan ekowisata. Perencanaan disusun bersama-sama pendamping. 

KTH Gempita yang memperoleh izin HKm sejak 2016 makin mantap melangkah. Restrukturisasi pemgurus dilakukan unuk memperkuat kelembagaan dan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dibentuk. Pilihan KUPS disesuaikan dengan potensi kawasan. Pertama ekowisata dan kedua kuliner.


Dimulai dengan membangun tracking awal sepanjang 70 meter dengan dana saweran anggota, Gempita pun memulai jejak layanan ekowisatanya.

Dengan dukungan berbagai pihak, termasuk dana desa, panjang tracking sekarang mencapai 800 meter. Pengunjung lokal pun mulai berdatangan. Jelajah ekowisata mangrove dilakukan menggunakan kapal-kapal kecil nelayan yang juga menjadi anggota HKm. Belum ada karcis masuk yang dikenakan untuk masuk ke wisata karena Gempita berprinsip ingin mengenalkan lokasi ini dulu sembari membenahi sarana prasarana ramah lingkungan.


Melengkapi ujicoba ekowisata mangrove ini, KUPS kuliner beranggotakan para ibu sudah mulai membuka kedai di lokasi wisata. Berbagai sajian penganan lokal menjadi menu, misalnya lempah padeh (sejenis pindang ikan berkuah kental rempah pedas), pempek khas bangka dan krupuk ikan. Juga ada minuman khas dari buah mangrove jenis tertentu, yakni jus buah pedada (soneratia marina, sp). Rasaya manis asam segar, persis rasa asam tamarin. Semua bahan dasar makanan dan minuman ini adalah hasil dari hutan lindung desa ini.


Kini HKm Gempita terus berbenah diri. Mereka mulai menambah jumlah saung-saung kayu untuk tempat makan siang pengunjung yg ingin menikmati pesona mangrove di pesisir desa ini. Mangrove Kurau Timur juga telah menjadi lokasi penelitian mahasiswa yg ingin mendalami zonasi dan arboretum (taman koleksi) mangrove Desa Kurau Timur.