Menilik Tradisi Syawalan di Kota Pekalongan

By Abdi Satria


nusakini.com-Pekalongan-Syawalan merupakan tradisi masyarakat Kota Pekalongan khususnya masyarakat daerah Krapyak di bagian utara Kota Pekalongan yang dilaksanakan pada setiap hari kedelapan di Hari Raya Idul Fitri.

Bahkan Syawalan yang jatuh pada 8 Syawal merupakan hari yang sangat istimewa dan selalu ditunggu-tunggu oleh warga. Pasalnya, hari itu merupakan hari berkumpulnya ribuan warga untuk bisa silaturahim dan saling berkunjung untuk menikmati segala hidangan yang disediakan secara gratis.

Hal paling menarik dalam pelaksanaan tradisi ini adalah dibuatnya Lopis Raksasa yang ukurannya mencapai tinggi 2 meter dengan diameter 1,5 meter dan berat mencapai 225 Kg. Setelah acara doa bersama, Lopis Raksasa kemudian dipotong oleh Wali Kota Pekalongan dan dibagi-bagikan kepada para pengunjung.

Para pengunjung biasanya berebut untuk mendapatkan Lopis tersebut yang maksudnya untuk mendapat berkah. Pembuatan Lopis dimaksudkan untuk mempererat tali silaturahim antaranggota masyarakat Krapyak dan dengan masyarakat daerah sekitarnya, hal ini diidentikkan dengan sifat lopis yang lengket.

Masyarakat Krapyak juga biasanya menyediakan makanan ringan dan minuman secara gratis kepada para pengunjung. Jumlah pengunjung pada tradisi ini mencapai ribuan orang yang berasal dari seluruh Kota Pekalongan dan sekitarnya.

Setelah pembagian Lopis selesai, para pengunjung berbondong-bondong ke obyek wisata Pantai Slamaran Indah untuk berlibur bersama keluarga sekadar menikmati kesegaran udara pantai atau menikmati meriahnya hiburan gratis yang telah dipersiapkan masyarakat Krapyak sebelumnya.

Dari mana tradisi ini berasal? Menurut sejarah, sebagaimana dituturkan KH Zaenuddin tokoh masyarakat setempat, orang yang pertama kali memelopori Syawalan adalah KH Abdullah Sirodj, ulama Krapyak yang masih keturunan Tumenggung Bahurekso (Senopati Mataram).

Awalnya KH Abdullah Sirodj rutin melaksanakan puasa Syawal, puasa ini kemudian diikuti masyarakat sekitar Krapyak dan Pekalongan pada umumnya sehingga meski hari raya, mereka tidak bersilaturahim demi menghormati yang masih melanjutkan ibadah puasa Syawal.

"Dulu, sehabis Shalat Ied suasananya masih seperti Ramadhan. Baru pada hari ke-8 Syawal, suasana Lebaran benar-benar terasa," ujar Wakil Rais Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Pekalongan KH Ahmad Tubagus Surur.

Yang menjadi khas dalam tradisi syawalan di Krapyak Pekalongan adalah disajikannya makanan berupa lopis. KH Abdullah Sirodj memilih lopis sebagai simbol Syawalan di Pekalongan karena terbuat dari beras ketan yang memiliki daya rekat yang kuat, yang menyimbolkan persatuan.

Kiai Tubagus mengatakan, Presiden Soekarno datang dalam rapat akbar di lapangan Kebon Rodjo Pekalongan (sekarang Monumen) tahun 1950. Presiden berpesan agar rakyat Pekalongan bersatu seperti lopis sehingga warga Krapyak setiap Syawalan selalu memotong lopis.

"Hal itu sebagai rasa syukur kepada Allah, dan melaksanakan sunah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Adapun rasa syukur tersebut diwujudkan dalam bentuk jajanan berbentuk lopis. Karena filosofi lopis sendiri sangat religius baik dari segi pemakaian bahan maupun dalam proses pembuatannya," ujarnya.

Dikatakan, ketan sebagai bahan dasar lopis memiliki makna persatuan (kraket=erat), karena ketan yang sudah direbus memiliki daya rekat yang kuat dibanding nasi. Sebagai sesama Muslim harus memiliki rasa saling peduli dan saling mengingatkan satu sama lain. Beras ketan yang putih, bersih memiliki makna kesucian (kembali fitri) dalam nuansa lebaran.

"Bungkus lopis diambilkan dari daun pisang, yang memiliki arti perlambang Islam dan kemakmuran. Bahwa Islam selalu menumbuhkan kebaikan dan menjaga karunia Tuhan. Daun pisang yang digunakan tidak boleh terlalu tua ataupun terlalu muda, karena akan berpengaruh pada cita rasa lopis tersebut," terangnya.

"Selain itu ikatan atau tali pembungkus menggunakan serat pelepah pisang, melambangkan kekuatan. Sesuatu yang sudah dicapai (kembali fitri) harus dijaga agar tidak luntur ataupun berkurang. Akan lebih baik jika semakin bertambah atau ditingkatkan," sambungnya.

Pengikat ini lanjutnya, juga bisa berarti sebagai pengikat kita untuk menjalin silaturahim antar-Muslim (Hablum minannas). Meski konon tradisi Syawalan sudah ada sejak tahun 1885, tradisi ini mulai dilakukan secara besar-besaran pada tahun 1950.

"Dengan memotong lopis berukuran besar oleh kepala daerah setempat. Proses memasak lopis raksasa membutuhkan waktu 4-5 hari, dengan menggunakan dandang berukuran besar. Untuk memindahkannya, harus memakai katrol," ucapnya.

Nurul Hidayah (40) warga Krapyak kepada NU Online Jateng mengatakan, tidak hanya lopis raksasa yang khas di Syawalan, hal unik lainnya adalah warga Krapyak yang mayoritas warga NU memberikan makanan ataupun minuman secara gratis bagi siapa saja )yang bertamu ke rumah pada hari kedelapan Syawal.

"Selain lopis raksasa, warga Pekalongan di beberapa kawasan lain juga merayakan syawalan dengan menerbangkan balon udara. Tradisi balon udara ini konon merupakan tradisi orang keturunan Indo Eropa zaman dulu yang bermukim di Pekalongan. Namun sekarang dilarang pemerintah karena dapat mengganggu penerbangan. Sebagai gantinya diadakan lomba balon udara warna warni dengan ditambatkan yang akan berlangsung di lapangan Mataram, Ahad (8/5) besok," pungkasnya. (NU)