nusakini.com - Jakarta, - Pemerintah terus bertekad menurunkan prevalensi stunting agar Indonesia mempunyai generasi yang lebih sehat, cerdas dan produktif. Untuk itu, sejak tahun 2018, pemerintah telah menetapkan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting (Stranas Stunting) yang menjadi acuan dalam melaksanakan program percepatan pencegahan stunting. 


"Setelah 3 tahun pelaksanaan program, kemajuan di tingkat outcome sudah dapat dilihat. Survei Status Gizi Balita Indonesia pada tahun 2019 menunjukkan prevalensi stunting turun, dari 30,8% pada tahun 2018 menjadi 27,7% pada tahun 2019 atau turun sekitar 3,1%. Jika ditarik lebih jauh dari tahun 2013, maka rata-rata penurunan adalah sebesar 1,6% per tahun," ungkap Staf Khusus Wapres Bambang Widianto selaku Sekretaris Eksekutif (Ad Interim) Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) saat membuka Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Percepatan Pencegahan Stunting 2018 - 2024 di Hotel Grand Mercure Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (24/11/2020). 


Sebelumnya, menurut Bambang, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, anak balita Indonesia yang mengalami stunting adalah sebesar 30,8%. Ini artinya hampir 1 dari 3 anak Indonesia mengalami kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama, dimulai dari masa kandungan hingga usia 2 tahun atau 1000 Hari Pertama Kehidupan. 


"Jika dibiarkan, anak-anak yang menderita stunting akan mempunyai kemampuan kognitif yang lebih rendah, rentan terhadap penyakit tidak menular dan ketika dewasa mempunyai produktivitas yang rendah. Hal ini, dalam jangka panjang akan merugikan kita sebagai bangsa dan negara," paparnya.


Untuk itu, lanjut Bambang, pemerintah pusat terus menggalakkan berbagai program percepatan pencegahan stunting dengan melibatkan pemerintah daerah. Hingga saat ini, menurutnya, terdapat 260 Kabupaten/Kota yang menjadi wilayah prioritas penanganan stunting, di mana dari 258 Kepala Daerah dari wilayah prioritas tersebut telah menandatangani komitmen untuk melakukan percepatan pencegahan stunting di wilayahnya. 


"Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah, pencegahan stunting dapat dijadikan sebagai prioritas pembangunan di daerah dan semua sumberdaya yang diperlukan dapat dimobilisasi untuk pencegahan stunting," kata Bambang. 


Lebih jauh, Bambang mengungkapkan bahwa Pemerintah Pusat telah melaksanakan berbagai program yang disalurkan kepada pemerintah daerah melalui berbagai mekanisme. Adapun total dana yang dialokasikan untuk program dan kegiatan yang dikelola oleh Kementerian dan Lembaga pada tahun 2019 adalah sebesar Rp 29 triliun, sedangkan tahun 2020 adalah sebesar Rp 27,5 triliun.


"Pemerintah Pusat juga menganggarkan Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi lokasi prioritas, baik Itu DAK Fisik maupun DAK Non Fisik. Khusus mengenai DAK Non Fisik, Pemerintah mengalokasikan dana khusus melalui BOK Kesehatan yang dapat digunakan oleh Kabupaten/Kota untuk melaksanakan konvergensi pencegahan stunting di wilayahnya. Dana Desa pun menjadi sumber dana pencegahan stunting," paparnya. 


Di samping itu, menurut Bambang, pendampingan pelaksanaan Program Percepatan Pencegahan Stunting kepada Pemerintah Daerah juga sudah dilakukan. Pendampingan ini fokus pada upaya untuk mendorong konvergensi di tingkat kabupaten/kota dan desa/kelurahan. 


"Proses dimulai dengan melakukan analisis situasi, pemetaan program dan kegiatan, penyusunan rencana kerja hingga monitoring dan evaluasinya," ungkapnya. 


Sedangkan di tingkat desa, kata Bambang, konvergensi percepatan pencegahan stunting juga terus didorong. Menurutnya, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa) telah menempatkan kegiatan terkait percepatan pencegahan stunting sebagai salah satu prioritas penggunaan Dana Desa. 


"Kemendesa telah merekrut Kader Pembangunan Manusia (KPM), sebgai kader yang membantu Pemerintah Desa melakukan konvergensi percepatan pencegahan stunting di desa. Saat ini sudah lebih dari 95% desa yang mempunyai Kader Pembangunan Manusia (KPM)," tuturnya.


Hasilnya, papar Bambang, berdasarkan perhitungan Indeks Khusus Penanganan Stunting (IKPS) oleh BPS dengan menggunakan 6 dimensi dan 12 Indikator yang terkait erat dengan stunting, menunjukkan bahwa ada kenaikan IKPS sebesar 2,1 dari tahun 2018 sebesar 64,5 menjadi 66,6 pada tahun 2019. 


"Perbaikan yang cukup siginifikan adalah pada dimensi gizi dan perumahan yang meliputi cakupan sanitasi dan air minum," ungkapnya. 


*Tantangan Ke Depan*


Lebih lanjut, Bambang menuturkan bahwa meskipun kemajuan dan capaian penanganan stunting selama 3 tahun terakhir patut diapresiasi, saat ini masih terdapat berbagai tantangan untuk mewujudkan target penurunan prevalensi stunting menjadi 14% pada tahun 2024. 


"Salah satunya adalah bagaimana memastikan bahwa seluruh program yang alokasi anggarannya berasal dari berbagai kementerian/lembaga, pemerintah daerah, atau sumber lain dapat secara terintegrasi sampai di wilayah dan keluarga sasaran. Ini tidak akan mudah dilakukan, karenanya setiap lembaga yang terlibat diminta untuk terus bekerja sama agar konvergensi dapat diwujudkan," kata Bambang. 


Selain itu, menurut Bambang, tantangan berikutnya adalah terkait pendataan, pemantauan, dan pelaporan. 


"Data terkait stunting harus lebih akurat, bisa diupdate secara cepat, dari desa hingga pusat. Termasuk bagaimana penggunaan dana desa dilaporkan secara cepat dan akurat, melalui Village Score Card oleh Pemerintah Desa kepada kabupaten/kota, lalu dari kabupaten/kota kepada Pemerintah Pusat," imbuhnya.


Tantangan lain, lanjut Bambang, adalah pandemi Covid-19, yang salah satunya berdampak pada turunnya jumlah kunjungan ke Posyandu. Padahal, pencegahan stunting tidak bisa berhenti, karenanya diperlukan upaya-upaya yang inovatif dari Pemerintah Daerah untuk memastikan layanan yang diperlukan masyarakat tetap tersedia dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.


"Terkait hal ini, Pemerintah Pusat telah menyusun beberapa panduan yang bisa menjadi referensi dalam penyediaan layanan di lapangan," pungkasnya. (EP-KIP)