Mengembalikan Pemahaman Spiritualitas dalam Pancasila

By Admin


Catatan Diskusi Cak Nurian, 5 Juni 2020

(Oleh: Swary Utami Dewi)


nusakini.com - Mengapa Pancasila kini banyak dilihat hanya sebagai simbol semata? Kenapa Pancasila dinilai usang dan tidak menjawab tantangan terkini? Kenapa ada yang menghadapkan Pancasila dengan agama? Kenapa Pancasila tidak tercermin dalam penegakan hukum hukum di Indonesia? Ternyata, berbagai pernyataan, sinisme dan kritik tentang Pancasila akarnya satu: kurangnya bahkan mungkin hilangnya pemahaman hakiki terhadap Pancasila. Bagaimana pemahaman yang tepat itu? Yakni melihat kembali spiritualitas dalam Pancasila. Dr. Yudi Latif mengajak kita kembali untuk menemukenali dan memperkuat pemahaman dasar kita terhadap Spiritualitas dan Pancasila. 

Apakah itu spiritualitas dalam Pancasila? Bang Yudi, panggilannya akrabnya memulainya dengan menjelaskan tentang hakikat manusia dalam Pancasila. Hakikat ini dikaitkan dengan 3 dimensi atau kodrat manusia. Pertama adalah dimensi fisik - biologis (tingkat otak, kedirian atau selfness). Kedua, dimensi rohani yang berkaitan dengan akal, etika, moralitas dan kebijaksanaan. Terakhir adalah dimensi sosial, berkaitan dengan relasi antar sesama manusia. Tiga dimensi inilah yang melekat pada hakikat manusia Indonesia dalam Pancasila.

Pertama, Sila "Ketuhanan yang Maha Esa". Hakikat manusia dalam Sila Pertama ini harus dilihat dari pemahaman bahwa manusia adalah mahluk yang diadakan oleh Maha Pengada yang penuh kasih. Ada dimensi rohani dan sipiritual di sini. Karena diciptakan oleh Tuhan yang penuh kasih sayang, maka manusia hakikatnya juga merupakan mahluk yang penuh welas asih. Saat mendekatkan diri dengan Tuhan, manusia melakukannya dengan penuh kasih. Demikian pula selanjutnya, welas asih direfleksikan manusia terhadap sesama. Inilah yang disebut sebagai Ketuhanan yang berdasarkan pada welas asih.

Terkait dengan Sila Kedua, manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang selalu harus ada bersama yang lain, tidak hidup sendiri. Ada dimensi sosial pada diri manusia. Perlu dicatat bahwa "yang lain" di sini berarti cakupannya tidak hanya hidup dengan sesama manusia, tapi juga dengan mahluk lainnya, yakni, hewan, tumbuhan dan seluruh alam. Inilah yang disebut sebagai perikemanusiaan. 

Ketiga, manusia sebagai mahluk sosial perlu pergaulan dan ruang hidup. Karena perlu ruang hidup, maka manusia butuh mengembangkan kebangsaan atau nasionalisme. Mengingat begitu kayanya keragaman Indonesia, maka yang diperlukan di sini adalah nasionalisme yang inklusif (civic nationalism), yang mampu merangkul semua.

Keempat, manusia sebagai mahluk sosial pasti berpotensi mengalami konflik dengan yang lain. Penyelesaian konflik dilakukan dengan cara yang penuh cinta kasih. Demikian pula halnya dengan pengambilan keputusan, yang sejatinya dilakukan dengan dasar cinta kasih.

Terakhir, terkait Sila Ke-5, perlu dipahami bahwa manusia adalah mahluk rohani yang menjasmani. Ada jiwa, ada raga. Maka tentunya, ada kebutuhan jasmani yang diperlukan manusia. Untuk memenuhi keperluan jasmaniah, manusia sebagai mahluk welas asih, sejatinya melakukannya dengan dasar cinta kasih. 

Menguatkan kembali pemahaman spiritualitas dalam Pancasila yang hakiki sejatinya akan menjadi kunci untuk pengejawantahan Pancasila yang lebih baik dalam segala aspek kehidupan kita.