Menag Harap Muslimat NU Respon Kebutuhan Dakwah Milenial

By Abdi Satria


nusakini.com-Jakarta- Menteri Agama Fachrul Razi mengapresiasi kiprah Muslimat NU dalam merespon dinamika masyarakat, utamanya dalam pendidikan agama dan keagamaan. Menag berharap Muslimat NU bisa terus melakukan penerjemahan atas kebutuhan dakwah dan pendidikan agama kaum milenial.

Pesan ini disampaikan Menag saat memberikan sambutan secara virtual pada Rakernas dan Musyawarah Perangkat Muslimat NU, Jumat (30/10). Hadir dalam kesempatan ini, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Wakil Menteri Agama, Ketum Pengurus Pusat Muslimat NU beserta jajaran kepengurussannya, pusat maupun wilayah, serta peserta Rakernas Dan Musyawarah Perangkat Muslimat NU. 

“Pemerintah dan masyarakat sipil penyiar Islam, seperti Muslimat NU perlu menerjemahkan setiap materi atau muatan agama yang akan disampaikan, menjadi konten dan sajian yang lebih mudah dipahami tanpa kehilangan bobot isinya, dan bebas bias,” harap Menag. 

Menurutnya, era disrupsi saat ini meniscayakan kehadiran media sosial (medsos) secara daring atau online. Hampir semua orang menggunakan medsos untuk melakukan interaksi dan mencari informasi, termasuk info keagamaan.  

Era disrupsi, kata Menag, telah menciptakan dislokasi intelektual dan kultural, serta mendorong eksklusi dan budaya baru yang serba instan. Banyak anak muda milenial tidak lagi belajar agama kepada para ulama/kiai/ustadz yang ahli di bidangnya. Mereka belajar agama kepada internet, berselancar menelusuri tafsir-tafsir keagamaan melalui mesin pencari google, bertanya pada situs berbasis online/digital yang boleh jadi admin-nya tidak mempunyai jalur transmisi/sanad keilmuan yang tepat.  

“Inilah tantangan serius berupa semakin menguatnya sikap ekslusivisme keagamaan dan dapat dengan mudah menjadi embrio ekstremisme kekerasan,” ujar Menag.  

Menurut Menag, “otoritas keagamaan baru” ini telah menantang struktur otoritas keagamaan tradisional dan konvensional yang ada. Pembelajaran agama yang diberikan oleh otoritas keagamaan tradisional yang sebelumnya disampaikan di masjid, surau, pesantren, dan majelis-majelis keagamaan lainnya, kini beralih ke media-media digital, seperti youtube, instagram (IG) dan facebook (FB). Di era disrupsi ini, keberadaan masjid, surau, dan pesantren sebagai sarana dalam memperoleh pembelajaran agama kemudian bergeser sebagian, di antaranya tergantikan oleh keberadaan sarana-sarana pembelajaran yang serba digital.  

“Fenomena ini punya sisi positif dalam kecepatan dan kemudahan akses referensi dan informasi. Namun, fenomena ini juga menciptakan krisis otoritas keagamaan yang memperuncing perbedaan di masyarakat, baik keyakinan agama maupun pilihan politik,” tutur Menag.  

“Ini menjadi peluang dan sekaligus tantangan bagi Kementerian Agama dan kita semua untuk mencari kebijakan yang tepat dalam memahami fenomena-fenomena sosial di masyarakat seperti ini,” sambungnya. 

Dari latar kondisi ini, pemerintah perlu mengembangkan strategi komunikasi, terutama kepada generasi milennial yang lebih rentan terhadap ideologi ekstrem. Strategi komunikasi tersebut bertujuan membangun gerakan kebudayaan dan memperkuat akal sehat kolektif.  

“Kemenag juga akan terus mengambil langkah konkret untuk memimpin gerakan literasi keagamaan (religious literacy) di kalangan masyarakat agar lebih melek agama dan memperkuat cara pandang keagamaan yang moderat (tawassuth),” tandasnya.(p/ab)