Melonpun Menyeruput Sodanya dengan Gembira

By Admin


Oleh: Swary Utami Dewi

Jakarta, 13 November 2007

nusakini.com - Suatu senja menjelang magrib di pelataran Taman Ismail Marzuki, awal November 2007. Aku dan dua teman duduk menunggu pesanan. Di kafe sederhana paling pojok, aku memesan jus jambu. “Enak banget lho,” promosiku kepada mereka yang kemudian turut memesan jus itu. Seperti biasa, lenggang, sejenis empek-empek yang dicampur telur dan dimasak layaknya telur dadar, melengkapi santapan soreku.

Saat berbincang mengenai hasil rapat yang telah digelar sore itu, tiba-tiba mendekatlah dua bocah berpenampilan dekil, lelaki dan perempuan. Jelas bahwa mereka bagian dari anak jalanan yang banyak ditemui di berbagai pelosok ibukota. Yang perempuan nampak berani mendekati, menyapa, “Tante,” dan kemudian menadahkan tangan meminta uang. Aku yang baru saja menyantap beberapa suap lenggang, menoleh dan menggelengkan kepala. Si gadis kecil mengulangi lagi perkataannya.

"Gak usah uang. Makan saja ya,” ujarku yang disambut tatapan bingung keduanya. Kemudian kujelaskan ulang kalau aku tidak mau memberi uang tapi akan membelikan makanan kalau mereka mau. Mereka saling berpandangan dan serentak kemudian mengangguk. Mereka pun duduk di meja bundar sebelah.

“Makan apa ya, Tante?” tanya sang gadis kecil, yang belakangan kutahu bernama Melon.

"Apa aja yang tersedia di sini,” jawabku. Sesaat kemudian pelayan kafe yang kupanggil menghampiri mereka sambil memberikan menu.

Belum lagi dua bocah itu memesan, datang dua teman mereka menghampiri. Sesaat kemudian, seseorang datang lagi. Jadi sekarang semua berjumlah lima, dan Melon yang satu-satunya perempuan. Mereka semua duduk mengelilingi meja.

Melon bersuara, “Tante, apa teman saya juga dibelikan makanan?” Aku berpandangan dengan dua teman dan kemudian mengiyakan. “Jangan panggil lagi yang lain ya,” seorang temanku mengingatkan dan disambut anggukan serentak mereka.

Aku kembali menyuap lenggang. Tapi kali ini tidak memiliki konsentrasi penuh pada empek-empek favoritku tersebut. Aku menguping dengar pembicaraan lima bocah di meja sebelah.

“Aku mau nasi goreng,” terdengar suara Melon cukup nyaring. Yang lain juga menyepakati untuk memesan nasi goreng. “Tapi gak usah pake sayur. Aku gak suka,” bocah lain menimpali. “Sayur kan sehat katanya,” celetuk yang lain. Aku, sang penguping, tersenyum geli mendengarnya.

Sesudah itu, kelima bocah berembuk memilih minuman. Nampaknya ini yang paling membingungkan. Tidak seperti memilih nasi goreng yang super cepat, minuman nampaknya menjadi kendala. Akhirnya seperti tadi, lagi-lagi Melon yang mengambil inisiatif. “Aku mau soda gembira,” ujarnya. “Iya, aku juga mau,” timpal yang lain.

Seorang bocah yang duduk berhadapan dengan Melon, nampak bingung menggarukkan kepala. “Jadi kamu pesan apa?” tanya Melon kepadanya. Akhirnya ia sepakat mengikuti semua teman, memesan soda gembira.

Menunggu pesanan datang, percakapan polos terjadi lagi di antara ke lima anak jalanan ini, tentang berbagai hal yang mereka alami hari itu. Aku tersenyum mendengarnya. Tiba-tiba di antara mereka ada yang teringat pada pesanan minuman. Dia menyeletuk, “Eh, soda gembira itu yang gimana sih? Apa yang warna hijau?”

“Ih, masa gak tahu?” Melon menjawab.

“Kalau yang hijau itu jus alpukat,” timpal yang lain.

“Pokoknya enak deh. Ada soda putih, terus dikasih susu kental yang putih. Asyik…” Mata Melon memejam membayangkan.

Anak yang tadi bertanya meneguk liur. Kuyakin dia pasti membayangkan nikmatnya soda gembira. Yang lain juga nampak bersemangat menantikan santapan datang.

Dan benar, saat nasi goreng dan susu soda datang, mereka langsung menyantap. Episode menyeruput soda gembira yang paling menarik. Melon dengan nikmat menyeruput. Bocah lelaki yang tadi tidak tahu rasa soda gembira mengikuti dan mmm, dia juga nampak asyik menikmati rasa unik soda susu tersebut.

Seorang lainnya memiliki ide seru, meneguk soda begitu saja tanpa campuran susu kental manis. Hasilnya, matanya menjadi berkejap-kejap dan sesaat kemudian dia terbatuk-batuk.

“Jelas gak enak. Harus dicampur susu dong. Baru enak…” jelas Melon bersemangat.

Sejam kemudian, acara dinner merekapun berakhir. Ucapan terima kasih dan lambaian selamat tinggal menjadi hadiah manis bagiku dan kedua teman.

Langkah Melon dan keempat temannya semakin menjauh meninggalkan kami. Sayup-sayup suara keriangan mereka menghilang, sejalan dengan semakin jauhnya tapak kelimanya.

Aku yang masih duduk manis di kursi, yang sedari tadi mengamati, serasa mendapat irisan sembilu. Nyeri melihat mereka sudah sedari muda harus bekerja, berjuang untuk bertahan hidup. Mana orang tua mereka? Mana pemerintah? Mana negara yang katanya memiliki tugas menaungi mereka?

Masih ingat aku isi suatu pasal dalam Undang-Undang Dasar yang berbunyi,”Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Kenyataannya berbeda jauh. Negara yang diwakili pemerintah, dalam catatan sejarah, lebih banyak menaungi sekelompok orang untuk bertambah kaya. Malah ada catatan ironis saat pemerintah dengan serta-merta memberikan dukungan dalam bentuk BLBI kepada para bankir yang hampir bankrut dan ujung-ujungnya membawa lari uang dukungan tersebut. Padahal selayaknya, uang itu adalah hak rakyat, termasuk hak para anak jalanan tersebut.

Aku menghela nafas, bertanya-tanya pada diri sendiri. Kapankah negara bisa bertanggung jawab kepada anak-anak jalanan dan jutaan rakyat yang masih hidup dalam kesusahan dan kemelaratan? Akankah tiba saatnya rakyat miskin menggapai kehidupan yang lebih baik?

Aku berkhayal. Andaikan, jika suatu saat para pemimpin kita berhasil melakukan tugasnya dengan baik untuk mensejahterakan rakyat, mereka pasti akan merasakan kebahagiaan luar biasa. Dan tentunya jika itu terjadi, Melon dan teman-temannya pasti akan menyeruput soda gembira dengan lebih ceria, dalam kondisi yang layak.