Lawan Hoax, Pemerintah Diminta Lebih Terbuka dengan Info Resmi

By Admin

nusakini.com-- Fenomena informasi hoax semakin marak dalam beberapa bulan terakhir. Masyarakat kelebihan informasi dan dibuat bingung untuk membedakan mana yang benar dan menyesatkan. 

Komisioner Komisi Informasi Publik Rumadi menilai Pemerintah harus lebih terbuka dalam memberikan informasi resmi kepada publik. Dengan adanya keterbukaan dan kemudahan akses terhadap informasi resmi, publik diharapkan tidak mudah terprovokasi dan termakan informasi yang menyesatkan. 

Hal ini disampaikan Rumadi saat menjadi narasumber dalam focus group discussion (FGD) yang membahas fenomena hoax dan antisipasinya yang digelar oleh Ditjen Bimas Islam di Gedung Kementerian Agama, Jakarta, Rabu (18/01). Hadir sebagai narasumber, Masduki Baidlowi (NU), Achmad Zubaidi dan Cholil Nafis (MUI), Nasih Nasrullah (Jurnalis Republika), dan Usman Yatim (Muhammadiyah). 

Secara spesifik, Rumadi menggarisbawahi pengertian informasi ini dengan data. Simpelnya, dia mencontohkan bahwa kalau tidak ingin muncul hoax soal kuota haji, maka jelaskan secara terbuka kebutuhan masyarakat terkait dengan data kuota. 

"Keterbukaan jangan hanya dilihat sebagai kewajiban UU, tapi sebagai kebutuhan. Ini salah satu cara menangkal hoax dalam perspektif pemerintah," katanya lagi. 

Menurut Rumadi, kalau informasi resmi bisa cepat dan mudah diakses, maka hal itu akan membantu masyarakat. Orang akan berpegang pada informasi resmi yang dikeluarkan pemerintah. Sebaliknya, ketiadaan informasi resmi akan membuka ruang masyarakat untuk mengisi dengan informasi lainnya. 

"Berita resmi dari lembaga otoritatif menjadi salah satu cara menjaga imunitas publik terhadap hoax," ujarnya. Dia menambahkan bahwa kalau zaman dulu ada kecenderungan mencari berita alternatif, bukan dari sumber resmi, situasi saat ini sudah berubah. 

Hal sama disampaikan Masduki Baidlowi. Menurutnya, di tengah lubernya informasi, label resmi menjadi penting. Karenanya, penjelasan resmi dari setiap kementerian harus digalakkan. Kalau tidak, pria yang akrab disapa Cak Duki ini menilai orang akan susah membedakan. "PBNU dan MUI juga sedang menggalakkan hal yang sama," ujarnya. 

Sementara itu, Cholil Nafis lebih menggarisbawahi masalah kekuatan content (substansi pesan). Menurutnya, saat ini masyarakat lebih cenderung melihat content, meski ada sebagian yang masih abai dengan kualitas content. 

"Masyarakat bingung dalam tarjih dan takrir. Perlu edukasi masyarakat agar memastikan kebenaran berita," katanya. Upaya lain yang bisa dilakukana adalah memberikan informasi tandingan dengan content yang lebih baik. 

Selain content, Achmad Zubaidi memandang perlu keterlibatan lembaga otoritatif di luar pemerintah sebagai penyeimbang informasi. Hal ini juga ditegaskan Usman Yatim dari Muhammadiyah yang menjelaskan bahwa berdirinya media online Muhammadiyah juga dalam rangka ikut andil untuk memberikan informasi yang benar. (p/ab)