Klub-Klub Di Indonesia, Susah Sejak Lahir

By Abdi Satria


M. Nigara

Wartawan Sepakbola Senior


HINGAR-BINGAR, covid-19 telah memporak-porandakan seluruh sendi kehidupan di dunia. Perekonomian, rontok. Di dalamnta termasuk klub-klub sepakbola.

Indonesia? Jauh lebih parah. Klub-klub tanah air, baik peserta

Liga-1 maupun Liga-2, apalagi 3, masuk dalam fase terburuk kondisinya. Jika dimungkinkan, klub-klub, ingin rasanya tenggelam ke dasar bumi untuk sementara waktu. Klub-klub nyaris tak bisa menyelesaikan masalah domestik mereka.

Untuk itu, tarik-menarik soal lanjut atau tidaknya kompetisi, terus berlangsung. Tentu tidak semudah kita yang ada di luar PSSI, untuk mengambil sikap. Semua yang diambil oleh PSSI dan klub-klub pasti punya dampak sampingan. Sementara bagi kita yang di luar federasi, apa pun pendapat kita tidak punya dampak hukum apa pun.

Kita tidak berkewajiban mengamankan kontrak, kita juga tidak punya urusan dengan gaji pemain. Untuk itu, kita juga tidak akan pernah bisa meraih keuntungan matrial. Sebaliknya, klub-klub, PSSI, dan PT. LIB, semua langkahnya punya dampak susulan.

Beda

Di Eropa? Pasti berbeda jauh. Klub-klub di Eropa pasti bisa bertahan, atau meski tetap ada yang goyang, tapi hanya sedikit. 

Mengapa? Perbedaan sudah ada sejak masa kelahiran. Klub di Eropa sejak lahir sudah digunakan untuk bisnis. Jadi, tujuan utamanya sejak awal untuk mencari profit. Basisnya, profesional.

Kita? Persija, Persebaya, PSIM, dan hampir sebagian besar bonden (Perserikatan) lahir untuk berjuang. Basisnya, amatir. Kita tahu falsafah amatir dalam dunia olahraga ada berkorban.

Kalau pun ada Galatama 1979, yang berbasis non-amatir, itu pun tak kuat. Para pemilik klub modalnya bukan dari perusahaan, tapi dari kantong pribadi. Dan jumlahnya, maaf sangat terbatas. Mereka mendirikan klub, juga tidak dengan tujuan berbisnis, tapi lebih hanya karena kesenangan semata.

Jadi, dalam kondisi seperti ini, kita bisa melihat perbedaannya dengan jelas. Klub-klub Eropa yang memang sejak awal bertujuan bisnis, jelas tidak mengandalkan tiket penonton untuk hidup. Mereka memiliki sponsor yang kontraknya sangat besar, punya hak siar yang duitnya menggiurkan. Maka, tiket penonton hanya menjadi bonus saja.

Klub-klub kita? Tidak punya sponsor panjang dengan kontrak besar dan tidak ada hak siar privat. Maka, tiket penontonlah satu-satunya harapan dan pengharapan.

Dalam kondisi seperti ini, tidak heran jika penderitaan klub-klub kita begitu luar biasa. Jadi, jika kompetisi dilanjutkan tanpa penonton, maka penderitaan semakin dalam. Tapi, jika dihentikan begitu saja, tetap ada kewajiban yang harus diselesaikan. Padahal, klub tidak punya sumber lain.

Kedepan, semua harus berubah. Klub-klub tidak bisa lagi hidup dengan pola seperti ini. Dan, PSSI pun harus mampu mengelola organisasi dengan cara yang jauh lebih profesional.

Soal kritikan bahkan makian, sepanjang tidak menjurus pada pribadi, pada kekurangan fisik, fitnah, atau penghinaan, sah-sah saja. PSSI adalah organisasi besar dan paling seksi. Ibarat gadis cantik nan seksi, apa pun yang ada dalam dirinya, selalu saja jadi bahan bahasan. Sepanjang masih dalam norma-norma yang baik, ya gak apa-apa. Tapi, jika sudah masuk ke hal-hal yang sifatnya pribadi, itu perlu diselesaikan.

Artinya, PSSI, klub-klub, PT. LIB, dan para pengurusnya, harus selalu siap untuk dikritisi. Jangankan salah, benar saja tidak semua pihak mau menerimanya.

Sekali lagi, yang harus kita ingat: sebagai penikmat sepakbola dan non-pengurus, bebas bicara apa saja, karena tidak punya dampak kewajiban apapun. Sementara PSSI, Klub, dan PT. LIB, setiap langkahnya punya turunan hukum yang tidak kecil. 

Semoga selalu ada jalan keluar yang terbaik, bukan yang menyemangkan semua pihak. Bravo sepakbola Indonesia.