nusakini.com - Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan rancangan undang-undang untuk menangani kekerasan seksual menjadi undang-undang pada Selasa (12/4) setelah menunda beberapa tahun karena tuntutan untuk mengatur perilaku asusila dari kalangan konservatif.

Pengesahan legislasi yang bernama Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disambut baik oleh aktivis hak gender dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menyebutnya sebagai kemenangan bagi kaum perempuan.

Anggota DPR menjawab “Setuju!” secara aklamasi Ketika Ketua DPR Puan Maharani, yang memimpin Sidang Paripurna pengesahan undang-undang tersebut, menanyakan kepada peserta sidang apakah mereka menyetujui rancangan undang-undang .

“Rapat paripurna hari ini merupakan momen bersejarah yang ditunggu-tunggu masyarakat,” kata Puan. “Hari ini RUU TPKS disahkan dan menjadi bukti perjuangan bagi korban-korban kekerasan seksual.”

Hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak pengesahan RUU itu dengan alasan bahwa aturan hukum tersebut tidak mengatur perilaku asusila secara lebih luas, termasuk hubungan seks di luar nikah dan homoseksual.

Tunggal Pawestri, aktivis kesetaraan perempuan, mengatakan dia merasa terharu dengan disahkannya undang-undang ini.

“Terharu karena ini kerja advokasi bersama yang tidak main-main, melelahkan (fisik dan mental) dari semua kelompok masyarakat terutama para penyintas dan pendamping korban,” kata Tunggal dalam cuitan di Twitter.

Legislasi tentang kekerasan seksual pertama kali digagas sejak 10 tahun lalu, kata Anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah.

“Kita ternyata mampu mencegah kekerasan seksual,” kata Luluk saat memberikan pandangannya seusai disahkannya legislasi itu.

Namun, Luluk mengatakan undang-undang baru ini mengandung substansi kesetaraan gender dan hak asasi manusia serta mengingatkan masyarakat dan penegak hukum untuk menerapkannya sesuai semangat itu.

“Kalau tidak, undang-undang ini hanya akan menjadi deretan huruf yang tak bertaji,” kata Luluk.

Menurut Anggota DPR dari PKS, Al Muzzammil Yusuf, secara prinsip partainya mengutuk keras dan menolak segala bentuk kejahatan seksual, dan mendukung upaya perlindungan korban.

“Di sisi lain, Fraksi PKS juga sangat prihatin dengan semakin maraknya tindakan perzinaan, gaya hidup seks bebas, serta perilaku penyimpangan seksual,” kata Muzzammil kepada BenarNews.

Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) kasus kekerasan pada perempuan meningkat menjadi 8.800 pada tahun 2021, dibanding 8.600 kasus tahun sebelumnya.

Dari angka di atas, kekerasan fisik memiliki porsi yang paling banyak, mencapai 39 persen, sementara kekerasan psikis 29,8 persen, dan kekerasan seksual 11,33 persen, menurut data kementerian.

Cakupan perlindungan

Pengesahan rancangan undang-undang tentang kekerasan seksual hanya berselang lebih dari satu minggu setelah seorang dosen di Universitas Riau, Syafri Harto, divonis bebas Pengadilan Negeri Pekanbaru dalam kasus pelecehan seksual yang dituduhkan mahasiswi bimbingannya.

Aktivis mengatakan vonis bebas terhadap Syafri menunjukkan sulitnya menjerat pelaku kekerasan seksual tanpa legislasi tentang kejahatan semacam itu.

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform, Maidina Rahmawati, mengatakan undang-undang ini penting ini penting karena penekanannya pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban dan keadilan.

Pengaturan kekerasan seksual yang berorientasi pada korban tidak pernah dimuat dalam UU lain, ujarnya.

“Pengesahan UU TPKS ini punya arti penting untuk penguatan pengaturan tentang perlakuan dan tanggung jawab negara untuk mencegah, menangani kasus kekerasan seksual dan memulihkan korban secara komprehensif,” kata Maidina kepada BenarNews.

Terdapat sembilan jenis kekerasan seksual yang diatur dalam legislasi ini: pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seksual.

Selain itu, kata Maidina, ada pula sepuluh tindak pidana kekerasan seksual: pemerkosaan, perbuatan cabul, eksploitasi seksual terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, serta pornografi yang melibatkan anak.

Lalu ada pula pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual, tambah Maidina.

Secara substansi, kata Maidina, undang-undang ini mengatur hak yang jauh lebih komprehensif, menjangkau seluruh aspek yaitu hak prosedural penanganan, hak pelindungan dan hak pemulihan dalam bentuk rehabilitasi medis.

Selain itu, tambah Maidina, terdapat juga pengaturan hak korban spesifik untuk kekerasan seksual siber yang memerlukan respons cepat dalam penghapusan konten.

Dalam bahasan hukum acara pidana, kata dia, banyak pengaturan progresif yang diperkenalkan, seperti adanya jaminan visum dan layanan kesehatan yang diperlukan korban secara gratis.

Sementara itu, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Indonesia menyampaikan selamat atas pengesahan undang-undang itu.

“Pengesahan ini merupakan kemenangan bagi seluruh perempuan, anak perempuan, serta korban dan penyintas kekerasan berbasis gender di Indonesia yang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan melalui payung hukum yang komprehensif,” kata PBB dalam pernyataan tertulis.

“Di luar beberapa kekurangan dan terbatasnya bentuk-bentuk kekerasan yang diadopsi, UU ini merupakan langkah penting menuju arah yang tepat,” tambahnya. [sumber: benarnews.org]