Joker Akhirnya Finis Juga, Tapi Berat atau .......... Hukumannya?

By Abdi Satria


Oleh M. Nigara

Wartawan Senior

SAYA memang bukan akhli hukum, tetapi sebagai wartawan, meski 39 tahun hanya meliput olahraga, saya tergelitik mengikuti kasus Djoko Chandra. Awalnya saya hampir sama dengan pandangan mayoritas rakyat, Joker, begitu sapaan Djoko Chandra tidak akan pernah tertangkap. 

Tapi kita keliru. Joker yang awalnya masuk sebagai salah satu 'peserta lari mega super marathon' (catatan, lari marathon berjarak 42 km, paling cepat atau rekor dunia, 2 jam, 1 menit, 39 detik, dipecahkan pelari marathon asal Kenya Eliud Kipchoge dalam lomba di Berlin, September 2018)  seperti Eddy Tansil, akhirnya harus berhenti setelah 11 tahun. Meski demikian, seperti dirilis oleh ICW, yang diturunkan detiknews, Senin (18/2/2019) jam 18.54, masih ada 40 koruptor yang buron. 

Dari semua itu, rekor masih berada di tangan Eddy Tansil. Pengemplang kredit Bank Bapindo sebesar Rp 1,3 triliun itu meski sudah 21 tahun atau 96.360 jam berlari, belum juga mencapai garis finis.

Meski begitu, Jokerlah yang paling hebat. Bayangkan, ia bisa masuk dan keluar Indonesia tanpa hambatan apa pun. Bahkan, ia tetap seperti seorang konglomerat tanpa cacat. Masuk dan keluar seperti tak punya masalah apa pun. Tak heran, jika Joker bisa menyeret beberapa petinggi dari beberapa institusi.

Tidak sampai di situ, sebelas tahun silam, ketika Joker akhirnya divonis, hukuman dan dendanya sangat minimal. Jika saya tidak keliru, ia divomis hanya 2 tahun dengan denda hanya Rp 15 juta. Padahal negara telah dirugikan hampir setengah triliun akibat cassie bank Bali.

Coba bandingkan dengan Yos Rauke, mantan kepala dinas pendapatan Pemkab Batu Bara, Sumut. Seperti ditulis Kompasiana (10/3/2012), meski tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, ia tetap divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 4 bulan penjara. Yos, dituduh korupsi dana milik Pemkab Batu Bara senilai Rp 80 Miliar. 

“Keputusan yang aneh. Jika tidak terbukti bersalah seharusnya dibebaskan demi hukum. Sudah dinyatakan tidak terbukti bersalah, tapi kok masih dihukum. Apakah semua terdakwa yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta ini ‘wajib’ di hukum sekalipun tidak terbukti?” ungkap Saut Edward Rajagukguk, SH, usai sidang menanggapi vonis terhadap kliennya Yos Rauke.

Masih banyak contoh yang bisa disandingkan, tetapi saya hanya memilihkan satu saja.

Berat atau ...?

Tidak sampai di situ. Saat ini yang pasti jadi pertanyaan banyak pihak, seberapa ringan atau seberat apa hukuman yang akan diterima Joker? Apakah hanya akan menjalankah vonis yang lalu, atau? Sekali lagi, saya dan kebanyakan kita bukan akhli hukum. Jadi, semua yang ada di kepala kita hanya berandai-andai.

Menurut Bustami Zainudin, Senator asal Lampung, Djoko Tjandra harus dijerat dengan pasal berlapis. "Bukan sekedar menyerahkan kepada Kejaksaan untuk menjalani eksekusi hukuman atas perkara cessie Bank Bali saja," katanya. 

Bukan hanya Bustami, banyak pihak menduga dalam pelariannya Joker telah menimbulkan kasus-kasus baru. Rentetan pidana yang dilakukan patut dapat duduga sangat berat. Melibatkan banyak petinggi. Langsung atau tidak telah menimbulkan semacam pelecehan terhadap sistem hukum di Indonesia. 

Benarkah demikian, saya dan kita semua tentu tidak tahu persisnya. Hanya saja kasat mata kita sering melihat hal-hal dengan keputusan mengejutkan. Orang yang korupsi sangat besar, hukumannya sangat ringan. Sementara orang yang justru tidak terbukti, malah dihukum cukup berat.

Para pengadil sering lupa, mereka bisa merekayasa segalanya di dunia, dan di hadapan manusia, tapi tidak di hadapan Allah. Merekayasa kebenaran sama artinya dengan berbuat zalim. 

Dari banyak ayat Al-Quran tentang orang zalim, saya mengutip dua saja yang artinya: (Diperintahkan kepada malaikat), "Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan apa yang dahulu mereka sembah," (Ash-Shafaat, 22).

"Dan adapun yang menyimpang dari kebenaran,maka mereka menjadi bahan bakar neraka jahannam," (Al-Jin, 15).