JAKARTA -- Banyaknya orang Indonesia yang melakukan pengobatan ke luar negeri sudah menjadi rahasia umum. Adapun negara yang banyak dipilih adalah Malaysia dan Singapura.

Menanggapi hal itu, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr Adib Khumaidi mengatakan alasan orang Indonesia banyak berobat ke Malaysia dan Singapura. Selain karena obat dan transportasi lebih murah, menurutnya ada kenyamanan pasien dalam melakukan komunikasi dengan dokter.

Menurutnya, hal ini perlu menjadi catatan sejumlah tenaga medis di Indonesia agar bisa meningkatkan kualitas pelayanan.

"Kami sekarang selalu mengatakan kemampuan komunikasi pada dokter di Indonesia harus ditingkatkan, karena salah satu dasar pasien berobat ke luar negeri, berobat ke Malaysia, atau Singapura, itu salah satunya karena faktor komunikasinya yang mereka anggap lebih enak di sana daripada di Indonesia," kata Adib, Rabu (29/5/2024).

"Lalu mengapa pembiayaan di negeri jiran itu lebih murah? Karena ada kebijakan negara, regulasi negara soal free tax khususnya pelayanan kesehatan kepada masyarakat," jelas dr Adib.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkap bahwa jumlah masyarakat Indonesia yang bolak-balik ke luar negeri untuk berobat ada lebih dari 1 juta orang.

Indonesia jelas dirugikan dari kondisi ini. Sebab, ada potensi nilai ekonomi yang hilang.

"Kita kehilangan US$11,5 miliar, kalau dirupiahkan itu Rp 180 T hilang karena warga kita tidak mau berobat di dalam negeri," ujar Presiden saat menghadiri Rakernas Kesehatan di ICE BSD, Tangerang, Rabu (24/4/2024) lalu. 

Menurut catatan pemerintah, negara tujuan berobat favorit masyarakat Indonesia antara lain Singapura, Malaysia, Jepang dan Amerika Serikat.

Presiden menyadari, Indonesia memang tertinggal dalam sektor kesehatan. Saat ini, rasio dokter di Indonesia ada di level 0,47 jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di Tanah Air.

Mengacu standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rasio jumlah dokter, termasuk dokter umum dan spesialis, yang ideal, yaitu 1/1000 atau 1 dokter per 1000 penduduk. Apabila sebuah negara berhasil memenuhi "golden line" tersebut, maka dapat dikategorikan berhasil dan bertanggung jawab kepada rakyatnya di bidang kesehatan.

Angka terakhir yang diperoleh WHO dan juga World Bank, rasio Indonesia berada di 0,47/1000. Angka ini membawa Indonesia menempati posisi ketiga terendah di ASEAN setelah Laos 0,3/1000 dan Kamboja 0,42/1000.

Untuk mengatasi masalah ini, Jokowi menyebut Undang-Undang Kesehatan telah direvisi agar mempermudah anak muda Indonesia untuk masuk ke pendidikan dokter, termasuk dokter spesialis yang jumlahnya jauh lebih sedikit. (*)