Ini Kronologis Proses Pembelian Pabrik Kinani Kertas dan Nasib 1.400 Karyawannya

By Admin


nusakini.com - Jakarta - Pemerintah Kalimantan Timur menyebut akan membahas nasib 1.400 karyawan PT Kertas Nusantara (sebelumnya PT Kiani Kertas -red) yang Dirumahkan dan sampai saat ini masih terkatung-katung, pada bulan Maret 2019.

“Rencananya akan ada gelar perkara membahas nasib karyawan Kertas Nusantara bulan depan nanti,” kata Koordinator Dinas Tenaga Kerja Kaltim Pengawas Wilayah Utara, Sab’an, Senin (25/2/2019).

Sebagai informasi, PT Kertas Nusantara diketahui adalah milik Prabowo Subianto dan adik kandungnya, Hashim Djojohadikusumo. Sejak lima tahun lalu, perusahaan ini mengalami masalah keuangan. Menurut manajemen perusahaan Sab'an, perusahaan tidak mampu membayar gaji yang menjadi tuntutan karyawan.

Adapun kronologi perusahaan tersebut dimulai pada 4 April 1991, Kiani Kertas didirikan oleh pengusaha Muhammad Hasan (Bob Hasan). Namun pada tahun 1998, Bob Hasan terpaksa menandatangai perjanjian penyelesaian utang (MSAA) senilai Rp 8,91 triliun dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Hal Ini terjadi lantaran Bank Umum Nasional milik Bob Hasan berutang kepada negara sebanyak Rp 8,917 triliun, sehingga sejumlah asetnya harus diambil negara, salah satunya yaitu Kiani Kertas.

Kemudian, setelah Kiani Kertas berada di tangan BPPN, pada Oktober 2003 PT Bank Mandiri Tbk pun mengambil alih aset kredit Kiani Kertas senilai utang yang mampu dibayar dengan arus kas Kiani, yaitu US$ 201,242 juta atau Rp 1,8 triliun. Pembelian tersebut dilakukan bersama anggota konsorsium PT Anugra Cipta Investa milik Prabowo Subianto. Dana yang digelontorkan Bank Mandiri US$ 170 juta. Namun saat itu, Bank Mandiri hanya bertindak investor dan Kiani Kertas tetap dimiliki sepenuhnya oleh Prabowo, atau Prabowo berutang ke Mandiri. Saat itu, adapun jabatan komisaris utama dijabat oleh Luhut Binsar Panjaitan yang sekarang menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman.

Setahun setelah pembelian tepatnya Maret 2004, Kiani Kertas mengajukan permohonan restrukturisasi alias penundaan pembayaran utang kepada Bank Mandiri. 

“Saya hanya minta. Berapa tahun kami mampu, ya tolong terima,” kata Luhut saat itu dalam wawancara bersama wartawan Tempo, Setri Yasra di Jakarta, 17 Maret 2004. 

Tak hanya itu, selain masalah utang, perusahaan saat itu juga mengalami masalah operasional dan modal kerja sebesar US$ 50 juta pada Januari 2005.

Dari persoalan tersebut diatas, Hashim Djojohadikusumo (adik Prabowo) masuk menjadi investor Kiani Kertas lewat perusahannya yang bernama Novela. Suntikan dana sebesar US$ 50 juta pun mengalir masuk ke kas Kiani Kertas. Suntikan modal ini juga berlangsung tak lama setelah Bank Mandiri sepakat untuk merestrukturisasi utang dari Kiani Kertas.

Selanjutnya, persoalan baru muncul pada April 2005, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mempersoalkan ketidakhati-hatian Bank Mandiri mengambil alih kredit Kiani Kertas dari BPPN. Salah satu bentuk ketidakhati-hatian itu adalah analisa risiko dan persetujuan dewan komisaris baru diberikan seminggu setelah aksi korporasi bank Mandiri.

Akhirnya pada Juli 2005, kasus ini pun masuk dalam ranah penyidikan Kejaksaan. Sebab, Tim Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung mencurigai adanya tindak pidana korupsi dalam proses pengambilalihan tagihan utang Kiani.Sehingga, untuk pertama kalinya, Prabowo Subianto diperiksa Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam kasus kredit macet Bank Mandiri di Kiani Kertas, 

"Saya pemegang saham, jadi saya bertanggung jawab sekarang," ujar Prabowo seusai pemeriksaan di gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Juli 2005.

Setelah melalui sejumlah penyidikan, dua tahun kemudian tepatnya April 2007, Kejaksaan Agung pun menetapkan tiga mantan direksi Bank Mandiri sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengalihan aset kredit ke Kiani Kertas. Ketiganya adalah Direktur Utama edward Cornelis William Neloe, Wakil Direktur Utama I Wayan Pugeng, dan Direktur Corporate M, Sholeh Tasripan.

Namuni tengah berbagai masalah Kiani Kertas toh tetap melanjutkan produksi. Desember 2008, Kapasitas produksi saat itu rata-rata mencapai 1000 ton pulp setiap hari dan kebutuhan kayu yang mencapai 4000 ton. Perusahaan juga berubah nama, dari Kiani Kertas menjadi Kertas Nusantara sejak Maret 2007. Hal yang mengejutkan, manajemen Kertas Nusantara melakukan pemecatan terhadap 900 karyawannya. Pemecatan dilakukan karena perusahaan tengah menghadapi ancaman gulung tikar karena masalah utang. Kali ini, Kertas Nusantara berutang sebesar sebesar Rp 142 miliar pada PT Multi Alphabet Dinamika dan kesulitan membayarnya. 

Tapi pemecatan tak berjalan mulus karena masih ada tagihan janji pembayaran gaji kepada para karyawan. Sehingga, para karyawan ini pun mulai menuntut hak mereka. Hingga akhirnya, pada November 2009

Ratusan karyawan PT Kertas Nusantara akhirnya mengancam mogok kerja karena adanya tunggakan gaji ini. Ketua Serikat Pekerja Perkayuan dan Perhutanan Indonesia, PT Kertas Nusantara Ahmad Helmi saat itu mengatakan, sejak empat bulan silam gaji dari 900 karyawan perusahaan tak kunjung dibayar. Selain itu, 200 pegawai lainnya yang kini bekerja merawat mesin belum digaji.

"Kami ingin menuntut hak kami sebagai buruh yang dirumahkan, pihak manajemen terus menghindar," kata Helmi. 

Menurut Helmi, perusahaan telah mengingkari kesepakatan antara manajemen dan para karyawan.

Dalam dokumen kesepakatan antara buruh dan manajemen, pekerja atau buruh yang dirumahkan akan diberikan upah dengan komponen upah pokok, tunjangan lokasi, uang sewa rumah, dan 50 persen dari uang fasilitas kebutuhan penunjang. Namun, menurut Helmi, para buruh hanya menerima rata-rata 25 persen dari total gaji pokok. (b/ma)