Dolar Dalam Tas Echolac

By Abdi Satria


M. Nigara

Wartawan Sepakbola Senior

KISAH kebaikan H. Sjarnoebi Said sudah terdengar jauh sebelum saya mengenal dirinya. Mantan bos saya, Tabrin Tahar, Pemred Majalah Olahraga Olympic, berulang mengisahkannya.

Ya, mang Noebi, begitu panggilan akrab mantan Ketua Umum PSSI 1982-83, Sjarnoebi Said, memang lebih suka dipanggil Mang ketimbang Pak. Tapi, itu hanya boleh dilakukan oleh mereka yang sudah amat dekat dengan dirinya.

Dan, beberapa wartawan sepakbola, khususnya para senior, sebut saja: Bang Tabrin, Bang Zuhri Husen (Merdeka), Bang Ardi Syarief (Pos Kota), dan Mas Sumohadi Marsis (Kompas-BOLA) adalah para senior yang menyapa Mang. 

Saya dan Mas Bambang Kendro, awal 1985, baru bisa menyapanya dengan Mang. Ya, setelah sekitar empat tahun bergaul (berulang kali mewawancaranya, timbul kepercayaan dan kenyamanan) baru beliau izinkan.

Maklum, meski senior jika tidak menimbulkan kepercayaan, maka Mang Noebi ingin formal-formal saja. Saya tak ingin menyebut nama senior yang satu ini. Saya juga tak ingin menyebut di mana atas kejadian apa.

Kisahnya terjadi di luar negeri. KTB ikut kejuaraan resmi. Pagi itu Mang Noebi sedang breakfast di temani Pak Amran, Bahar (kemenakan Mang Noebi, manajer tim), Mas Kadir (pelatih), Mas Bambang Kendro, saya, Opung (Antara), dan senior itu.

Mang Noebi mengkelap naik darah. Penyebabnya judul berita yang dikirimkan sang senior ke Jakarta, copynya diberikan ke Mang Noebi. Judul beritanya: Mang Noebi Menyiapkan 35 Mitsubishi Jika KTB mampu ke final!

Memberi mobil dalam jumlah banyak, bukan soal. Tapi, Mang Noebi marah karena tidak pernah diwawancara. "Pokoknya ralat, titik!" begitu pekik Mang Noebi sangat keras.

Intinya, Mang Noebi tidak mau ada orang menulis semaunya.

"Kita mesti saling menjaga karena kita saling membutuhkan," begitu pesannya. Jadi, meski kawan itu wartawan senior, ya belum pernah masuk dalam lingkar khusus. Ya, hubungannya formal-formal saja.

Satu hari sekitar 1987-88. Saya diberi tahu Bahar, diminta ke jalan Lembang, Jakarta Pusat. Seperti biasa, saya dan Mas Bambang meluncur ke kediaman Mang Noebi. Begitu kami masuk, orang rumahnya langsung mengantar kami ke dalam.

Lho, kok tidak di ruang tamu seperti biasa? Tanya saya dalam hati. "Bapak sakit sudah beberapa hari. Jadi, beliau menunggu di kamar tidur," tukas orang yang mengantar kami seperti paham isi hati saya.

Betul saja, Mang Noebi terbaring. Meski begitu pipa gading gajah, alat bantu menghisap rokok, tetap melekat di bibirnya. "Ayo sini," sambutnya dengan suara agak lemah.

Kami mendekat. 

" Gua sakit, capek sekali," katanya lagi setelah kami duduk tepat di sisi kanan tempat tidur ukuran besar.

Mang Noebi lalu bertanya soal perkembangan PSSI, Kardono, Mas Gareng (Sutjipto Suntoro), KTB, dan sebagainya. Walau agak lemah, jika bicara sepakbola, Mang Noebi selalu bergairah.

Hampir satu jam, Mang Noebi akhirnya meminta kami pulang. " Dah baek gua, " celotehnya.

Ya, wajahnya memang agak cerah. Di luar dugaan kami, saya diminta ambil uang di dalam tas echolac, warna hitam. Jujur, saya kaget dan sontak gemetar.

"Itu tasnya," katanya menunjuk tas kerjanya yang ada di atas meja. "Kenapa, lu takut sama Sumo? (Bos saya di BOLA)" katanya lagi dengan suara hampir seperti biasa, agak meledak.

Saya terdiam, getaran dada saya bertambah kencang. Belum lagi kembali getaran itu, Mang Noebi setengah berteriak: "Ah payah lu! Bang (Mas Bambang) ambil sana,"

Tanpa menunggu waktu Mas Bambang langsung bergegas. "Wah, banyak banget pak dolarnya," ujar Mas Bambang sambil tersenyum.

"Ya lu kira-kira aja!" jawab Mang Noebi.

Mas Bambang mengambil beberapa lembar dolar Amerika, lalu menunjukan ke Mang Noebi. " Udah kantongin, cukup itu?" tanya lagi.

Saya menatap Mang Noebi, hati saya bertanya, kok begitu percayanya dia pada kami.

Beberapa hari setelah itu, Pak Amran Zamzami, sahabat sekaligus partner bisnis Mang Noebi dan pengendali klub KTB, mengundang seluruh pemain klubnya dan para wartawan. Tiba-tiba ia menghampiri kami. "Hebat, kalian lulus ujian dari Mang Noebi," tukasnya sambil menepuk bahu kami.

Kok? Dulu, katanya ada juga beberapa wartawan senior diminta melakukan hal yang sama, menyebut jumlah dengan fakta berbeda. "Beliau tahu berapa isi echolacnya. Jadi, ketika kita bilang lima, maka sisanya harus sama dengan yang dikurangi jumlah yang disebut," katanya.

Duuh, alhamdulillah. Padahal waktu keluar rumah Mas Bambang bilang: "Coba aku ambil banyakan, bilang tetap sepuluh," katanya sambil tetawa. 

Untung tidak dilakukan. Ya, saat KTB dibubarkan, kami juga yang jadi tempat curhatnya. "Krama Yudha itu leluhur gua , masak dimaki-maki orang. Gak ikhlaskami gua. Ya, kami bisa terus berdekat-dekatan dengan Mang Noebi...

Ada rasa senang, tapi lebih banyak rasa rindu pada tokoh yang satu itu. Meledak-ledak, tapi juga sangat lembut hatinya. Mang Noebi tergolong orang yang suka menolong, tapi tak pernah sesumbar.

Beristirahatlah yang tenang Mang, semoga seluruh kebaikanmu menjadi catatan amal kebaikan. Aamiin..

Semoga bermanfaat...