Dimensi Syukur ala Cak Fu

By Admin


Oleh: Swary Utami Dewi

(Komunitas Urban Sufism)

nusakini.com - Perengkuhan dan manifetasi spiritualitas. Begitulah kira-kira istilahku terhadap seorang Bahrul Fuad. Tutur katanya begitu sederhana, tidak terkesan "mewah", saat berkisah tentang dirinya. Namun, paparan sederhana itu justru bermakna sangat dalam. Kedalamannya mampu menggetarkan nurani dan memporak-porandakan cara berfikir serta cara memaknai spiritualitas. Maka, kelas Urban Sufism 14 Agustus 2020, yang menghadirkan Bahrul Fuad, membuka cakrawala baru tentang cara melihat, memahami dan mengalami spiritualitas. Semuanya terpapar dalam ulasan yang lumayan panjang berikut ini.

Cak Fu, begitu ia akrab dipanggil. Ia kini masih dalam bilangan usia 40 tahunan. Cak Fu lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang guru agama dan ibunya merupakan ibu rumah tangga. Anak pertama dari tiga bersaudara ini sejak usia setahun menjalani hidup dengan kondisi tidak bisa berjalan.

Saat kecil, di bilangan usia sekolah dasar, sang ayah begitu gigih mengusahakan agar Cak Fu bisa berjalan. Ia diajak berobat ke dukun, kyai dan "orang-orang pintar" lainnya. Berbagai jenis pengobatan ditempuh. "Suatu hari saya pernah disuruh meminum serbuk pala. Pahit dan panas rasanya. Tapi karena ayah yang meminta, saya ikuti," kisah Cak Fu.

Bahkan, lanjut Cak Fu, ia pernah diminta "seorang pintar" lainnya untuk menelan tiga buah gotri sepeda jika ingin sembuh. "Ini yang paling saya ingat sampai sekarang. Saya menelan satu gotri pertama dengan bantuan pisang," imbuhnya. Melihat ini, sang ibu menjadi tidak rela dan langsung bersitegang dengan sang ayah. Jadilah pengobatan dihentikan dan "hanya" satu besi bulat yang masuk ke tubuhnya. 

Hingga suatu ketika, saat Cak Fu duduk di sekolah menengah pertama (SMP), sang ayah bertemu dengan seorang kyai yang memberi nasihat untuk menerima kondisi Cak Fu. "Allah sudah memberi kondisi begini. Allah juga yang akan menjamin masa depannya," ujar sang kyai. Sejak saat itu, "pencarian kesembuhan" berhenti dilakukan. Sang ayah menerima kondisi Cak Fu, demikian pula dirinya.

"Sejak itu, saya menerima keadaan saya -- meski kadang saat itu masih ada sedikit rasa malu terhadap kondisi saya, " tutur Cak Fu jujur.

Selanjutnya, sang ayah memasukkannya ke pesantren setingkat sekolah menengah atas di Jombang. Di sini, tidak sedikit protes yang ditujukan kepada sang ayah, termasuk dari kakek Cak Fu. Mengirim ke pesantren, berarti "membiarkan" Cak Fu mengerjakan apapun sendiri. Pesantren mensyaratkan kemandirian. Cak Fu dan santri lain mesti melakukan semua hal sendiri, termasuk memasak dan mencuci baju. Inilah yang dibayangkan berat oleh sang kakek dan banyak orang lainnya. Cak Fu yang hidup dalam kondisi fisik tertentu harus melakukan semuanya sendiri, tanpa bantuan siapapun. Namun, justru di sinilah Cak Fu makin merasa mandiri. Wejangan dari para guru di pesantren makin membuatnya belajar menerima semua yang ditakdirkan Allah kepada dirinya.

Kepasrahan dan penerimaan Cak Fu pada takdir Allah inilah yang membuatnya makin menemukan kedalaman spiritualitas. Saat berkuliah di Jombang, ia mengorganisir komunitas disabilitas di kota ini. Berbagai aktivitas digelar. Di sinilah Cak Fu makin menemukan makna hidupnya. "Mata saya makin terbuka. Bukan hanya menerima dan pasrah. Tapi saya menemukan dan memahami maksud Allah memberi saya kesempurnaan lahir seperti ini, yaitu untuk bisa berbuat banyak bagi sesama disabilitas. Saya paham inilah tugas hidup yang diberikan Allah kepada saya," kisah Cak Fu sambil sesekali tersenyum. 

Sepanjang menceritakan proses menerima dan memahami takdir keberadaannya di dunia, Cak Fu sama sekali tidak menunjukkan nada getir, pahit atau sedih. Tidak ada duka dalam nada bicaranya. Semua datar dan wajar, bermakna syukur mendalam yang digaungkan melalui cerita hidup. 

Sisi spiritualitas dari Cak Fu inilah yang patut dipelajari. Dari semula sempat protes dan bertanya-tanya bahkan mencoba "sembuh", kemudian menjadi menerima dan bersyukur. "Saya sumeleh. Menerima apapun dengan terbuka dan lapang. Itulah yang menyebabkan saya bisa selalu bersyukur."  

Bukan itu saja. Cak Fu malah merasa berkelimpahan yang luar biasa. "Apa yang diberikan Allah itu berlebih. Beyond imagination. Allah sudah memberi lebih dari apa yang saya harapkan. Saya bisa kuliah, bahkan sampai ke luar negeri." Ia berujar pelan dan pasti, penuh rasa syukur dan melimpah ruah.

Mendengar tutur Cak Fu, saya merenung, sekaligus merasa ditampar akan kelapangan dada dan syukur Cak Fu atas kondisinya. Pelajaran pertama yang saya dapatkan di sini adalah keniscayaan untuk menerima dan lapang dada adalah kunci untuk bisa bersyukur. Lebih lanjut, syukur itu kemudian bisa membawa kita ke tahapan yang lebih dalam: merasa melimpah ruah. Hal inilah yang saya dapatkan dari seorang Cak Fu.

Tidak hanya itu. Ada pelajaran lain yang juga saya petik dari lelaki beranak dua ini. Pada saat Cak Fu mampu memberi dan berbagi pada sesama disabilitas, pada saat itulah ia menjadi paham makna hidupnya, paham makna keberadaannya, paham mengapa ia diciptakan Tuhan dengan kondisi yang dimilikinya. Pendeknya, Cak Fu memahami maksud Allah terhadap dirinya. "Saat saya bisa berbuat, saya baru menyadari. Oh ... ini ternyata maksud Allah menciptakan saya begini. Allah menciptakan saya dengan maksud untuk berbagi dan menyebarkan pengetahuan kepada sesama disabilitas." 

Lebih lanjut, Cak Fu juga mampu memaknai bahwa ia yang hadir di dunia dengan kondisi yang dimilikinya, justru mengemban tugas ilahiah untuk menyampaikan kepada banyak orang bahwa disable itu bukan suatu tragedi. Cak Fu memahami bahwa ia dihadirkan Tuhan untuk mengabarkan kepada dunia bahwa kondisi yang dialami dirinya dan banyak orang lain yang serupa adalah sempurna dan normal. "Allah menciptakan roh itu sempurna. Tidak ada cacat atau kekurangan. Zat yang Maha Sempurna mustahil menciptakan sesuatu yang tidak sempurna. Jika tidak sempurna berarti ada proses yang salah. Dan mustahil Allah salah." Cak Fu tegas memaknai kesempurnaan Allah pada setiap ciptaannya, termasuk dirinya.

Bagiku di sini, Cak Fu hadir menjadi saksi atas kesempurnaan Allah terhadap setiap mahluknya. Cak Fu menjadi penyampai maksud penciptaan Allah, bahwa setiap mahluk adalah sempurna dan bermakna.

Berhentikan Cak Fu sampai di sini? Ternyata tidak. Cak Fu terus bergerak. Ia tidak hanya berhenti sampai pada tahap menerima, bersyukur dan merasa berkelimpahan serta memahami maksud takdir Allah terhadap dirinya. Cak Fu lebih lanjut mewujudkannya melalui tindakan nyata. Dalam konteks ini, menariknya, Cak Fu mampu dengan baik memisahkan bagaimana dirinya sebagai mahluk berelasi dengan Sang Pencipta, serta bagaimana dirinya selaku manusia berelasi dengan sesama.manusia lainnya.

"Allah detail mengatur semua.

Saya bersyukur. Karena "susah dan kekurangan", maka ada semacam fasilitas bagi saya untuk selalu mendekat pada Tuhan. Inilah yang menjadi bilik atau ruang dialog antara saya dan Tuhan. Saya menerima, bersyukur dan tidak protes." Begitulah kira-kira ruang dialog antara Cak Fu dengan Tuhan. Dialog yang tercipta secara manis dan romantis karena dipenuhi rasa menerima, syukur dan berkelimpahan. Inilah dialog syukur yang menggambarkan relasi antara Cak Fu dan Tuhan.

Di sisi lain, dalam relasinya dengan sesama manusia, Cak Fu memiliki bentuk "dialog" yang berbeda. Dalam kehidupan sosialnya, Cak Fu kerap mengalami penolakan dan diskriminasi. Bentuknya bermacam-macam, dari yang halus sampai yang terang-terangan. Dalam masyarakat, ada yang menunjukkan rasa kasihan dan salah memahami, bahkan ada yang tidak memahami sama sekali terhadap mereka yang memiliki kondisi seperti Cak Fu. 

Cak Fu memberi contoh sederhana. Ada kegiatan gotong royong di kampung misalnya, maka kerap orang-orang seperti Cak Fu tidak dilibatkan. Bahkan informasi kegiatan itupun tidak diberikan. Alasannya karena "kasihan". Padahal, Cak Fu juga ingin ikut dan terlibat serta ingin melakukan apa yang bisa ia lakukan. 

Contoh kedua, adalah masjid. Cak Fu menilai masjid seringkali "tidak ramah" dengan disabilitas. Fasilitasnya hanya untuk orang dengan kondisi berbeda. Maka seringkali ada "pemahaman" keliru secara sosial bahwa disabilitas seperti Cak Fu tidak usah pergi ke masjid. Cukup sholat di rumah saja. Bahkan sering ditambah dengan kata-kata, "Allah juga maklum kok dengan kondisinya, Allah memberi kemudahan, dan sebagainya". Padahal, Cak Fu dan sesama disabilitas juga ingin beribadah di masjid.

Menurut Cak Fu, pandangan seperti inilah yang musti digugat lalu diperbaiki. "Disabilitas" bukan ingin dikasihani, dimaklumi atau dipermudah. Pandangan dan perlakuan diskriminatif ini yang menjadikan orang-orang seperti Cak Fu yang diciptakan sempurna oleh Allah, justru menjadi tidak sempurna di mata manusia. 

"Tuhan menciptakan semua manusia sempurna. Namun justru manusialah yang sering membuat orang-orang seperti saya menjadi tidak sempurna....Orang-orang seperti saya bukan cacat, tapi dicacatkan ... Yang menjadikan cacat adalah mereka yang melihat bahwa yang cacat tidak sempurna, tidak bisa dijadikan alat produksi..." 

Gugatan Cak Fu terhadap orang-orang yang telah memandang dan bersikap keliru terhadap diri dan komunitasnya, yang telah menjadikannya "cacat", diungkapkannya begitu tegas dan lugas. Bagiku gugatan itu begitu dahsyat dan membuka pandangan baru, bahwa manusialah yang membuat manusia lainnya menjadi cacat atau tidak sempurna. Manusialah yang meminggirkan sesama manusia.

Maka jelas terlihat bahwa Cak Fu memang memiliki ruang dialog yang berbeda dengan sesama manusia, dibandingkan relasi dialognya dengan Tuhan. "Sebagai hamba Allah, saya tidak protes. Saya menerima takdir saya dan melihat penciptaan saya sebagai bentuk kesempurnaan Allah."

"Namun, dalam hubungan saya dengan sesama manusia, saya protes, saya lawan segala bentuk ketidakadilan. Dalam dimensi diri saya ada pembelaan hak kesetaraan. Dan justru ini adalah tugas hidup saya agar bisa bermakna dalam hidup, yakni memperjuangkan hak-hak disabilitas.

Itulah Cak Fu yang mampu membuat tercengang mereka yang mendengarnya. Tidak ketinggalan, Prof. Komaruddin Hidayat menggambarkan kisah dan pengalaman spiriitualitas Cak Fu memang seakan menampar manusia-manusia yang tidak mampu atau jarang bersyukur. Cak Fu secara tidak langsung menampar siapapun yang sombong, angkuh dan lupa bersyukur.

Mas Komar, panggilan akrab Prof. Komaruddin Hidayat, menilai Cak Fu dari tiga aspek, yakni aspek psikologis, sosial dan teologis. Secara psikologis, adanya pengalaman didiskriminasi justru menjadikan Cak Fu begitu kuat, tidak jatuh dan tidak rapuh. Pengalaman hidupnya secara sosial menjadi dasar perjuangan eksistensialisnya, agar hak- hak disabilitas diakui dan dipenuhi oleh negara.

Secara teologis, berbagai pengalaman hidup tersebut juga membuat Cak Fu mampu melihat kemahasempurnaan Tuhan. Bagi Mas Komar, sosok Cak Fu menggambarkan hubungan Tuhan dan manusia layaknya dalang dengan wayang. Apapun lakon yang diberikan dalang (Tuhan) kepada Cak Fu dijalaninya secara pasrah. Sumeleh. Jabariyah.

Menariknya, saat menghadapi sistem yang diskriminatif, Cak Fu menanggalkan kepasrahan dan sikap jabariyah-nya. Yang dikenakan adalah jubah qadariyah untuk berjuang dan protes terhadap segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kaum disabilitas. Alih-alih pasrah dan menerima nasib didiskriminasi, Cak Fu menggunakan piihan bebasnya sebagai manusia untuk berjuang.

Ringkasnya, Cak Fu membuka mata kita tentang makna kesempurnaan mahluk ciptaan Tuhan. Sebagai mahluk Tuhan terhadap penciptanya, hanya rasa syukur yang ada dan dirasakan Cak Fu karena diciptakan sempurna oleh Yang Kuasa. Di saat yang sama, pengalaman Cak Fu didiskriminasi dalam berbagai bentuk mengajarkannya untuk berjuang agar sesama mamusia juga bisa menghargai semua, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. 

Takdir Tuhan yang memberikannya posisi berkursi roda sejak kecil dirasakannya sebagai jalan dan amanah untuk berjuang agar hak-hak mereka yang "disabled" dimampukan oleh negara. Jubah jabariyah dan qadariyah memang berpadu dengan harmonis dalam pengalaman eksistensialis seorang Cak Fu.