Oleh :Edi Kurniadi, Kepala Balai Diklat LHK Samarinda

nusakini.com - Alhamdulillah saya bersama teman-teman tim Balai Diklat LHK Samarinda berkesempatan mengunjungi LPHD Desa Katimpun, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah, melaksanakan pelatihan peningkatan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dalam pengelolaan usaha dari tanggal 5 sampai dengan tanggal 9 Oktober 2020. Terdapat tiga KUPS pada LPHD Desa katimpun, yaitu KUPS dare jawet, KUPS perikanan, dan KUPS lebah madu. Salah satu yang menarik dari LPHD tersebut adalah KUPS dare jawet rotan, dimana seluruh pesertanya adalah ibu ibu dengan jumlah peserta sebanyak 43 orang.

Pada hari Senin malam atau malam pertama kami di desa Katimpun, saat itu sehabis makan malam di rumah Bu Rosida, ketua KUPS, saya melihat beberapa tas anyaman rotan di pinggir. Saya tanya apakah tas tersebut dijual, dan dijawab oleh Bu Rosida bahwa memang tas rotan tersebut untuk dijual. Bahkan sebelumnya rencananya akan dikirim ke Bali akan tetapi karena masa pandemi ini kiriman ke Bali menjadi terhenti. Banyak dari Ibu-ibu malah membakar rotan bahan anyaman karena merasa kecewa dengan tidak adanya pesanan yang biasanya bisa mencapai sekitar 100 Kg atau sekitar 800-1000 tas per bulan. 

Selanjutnya Bu Rosuda menyampaikan bahwa kerajinan anyaman rotan di Desa Katimpun merupakan kerajinan yang turun temurun sudah lama dikerjakan oleh ibu-ibu. Bu Minarti, anggota salah satu anggota KUPS menyampaikan kalau motif-motif ini ada namanya. Saya jadi tertarik dengan informasi tersebut sehingga saya bertanya nama salah satu motif yang sedang dipegang oleh Ibu Minarti. Namun sayang, Bu Minarti tidak bisa menyebutkan apa nama dari motif tersebut karena yang tahu hanya ibunya. Akhirnya saya minta kepada ibu-ibu tersebut untuk menanyakan kepada orang tuanya nama dari dare tersebut, saya sampaikan bahwa saya akan membeli sekitar 20 tas dengan motif yang berbeda. 

Harapan saya terhadap nama dare pun terwujud. Besok hari setelah makan siang, salah seorang tambi (bahasa Dayak artinya nenek), belakangan tambi tersebut bernama Runci Indodagau, ngobrol tentang nama beberapa motif anyaman rotan. Bahkan Ibu Minarti membawa beberapa tas yang sudah diberi nama motif. Siang itu saya tidak sempat memperhatikan nama-nama dari motif tas tersebut karena harus berangkat ke Palangkaraya untuk koordinasi pelaksanaan pelatihan gelombang berikutnya dengan Balai Pemanfaatan Hutan Produksi (BPHP) Palangkaraya.

Pada Kamis sore saya kembali ke Katimpun, dan betapa senangnya karena ada 27 tas sudah ada, pada malam hari saya buka satu per satu tas tersebut dengan memperhatikan motif setiap tas dan namanya. Saya menemukan terdapat 8 motif yang ada namanya, sementara 5 motif kelihatannya belum sempat diberi nama atau belum tahu namanya. 

Nama motif yang dibuat oleh ibu ibu ada yang hanya dua kata, seperti: 1) dare bajakah halelek, 2) dare upak pusu, 3) dare naga umbang, dan 4) dare tunjang palara. Namun demikian ada juga nama yang menyebutkan semua motif yang ada pada tas tersebut, seperti 5) dare mata bilis dengan dare tulang dan tabuhi, 6) dare mata punei dengan puser undang dan dare tabuhi, 7) dare mata punei dengan tabuhi, serta 8) dare saluang murik dengan tabuhi, dare tulang.

 

Keesokan hari, atau pada jumat pagi, saya diskusi dengan Pak Nanang, kepala desa Katimpun, dimana saya menginap di rumahnya selama di Katimpun. Saya berharap Pak kades mengetahui tentang nama-nama dari motif tersebut. Pak Kades Nanang mengakui kalau baru kali ini mendengar nama dari dare tersebut. Beliau akhirnya hanya menterjemahkan dari nama dare sesuai pengetahuan beliau. Mata bilis berarti mata ikan lais, mata punei berarti mata burung punai, puser undang berarti pusat dari udang, upak pusu berarti bunga pinang pada saat berbuah, naga umbang berarti naga terbang, tanjung palara berarti akar tunjang dari pohon palara, saluang murik berarti ikan saluang yang melawan arus, sedangkan bajakah halelek, menurut pak kades berarti akar bajakah yang melengkung atau menjuntai di bagian bawah karena mengendalikan tinggi akar yang melebihi tinggi pohon inang.

Pak kades kurang paham dengan pengertian kata tabuhi. Beliau memperkirakan kalau artinya tabuhi kebahagiaan. Akan tetapi pada saat saya tanyakan ke ibu-ibu bahwa arti tabuhi itu karena ada warna dasar yaitu putih. Terkait arti tabuhi memang perlu dikonfirmasi lebih jauh.

Terdapat beberapa nama yang motifnya hampir sama. Motif mata bilis dan mata punai hampir sama, akan tetapi apabila diperhatikan motif mata bilis ada noktah hitam di tengah warna putih, sedangkan mata punei tidak ada. Demikian pula dengan motif tunjang palara dan motif naga umbang. Apabila diperhatikan, tunjang palara lebih tegak dan ujung kiri datar, sementara naga umbang lebih pendek dan ujung kiri melengkung. Namun demikian, terdapat beberapa nama motif belum saya temukan bagaimana bentuknya pada anyaman, yaitu untuk motif tulang dan motif puser undang. 

Setelah memperhatikan beberapa motif dari anyaman rotan tersebut, saya menyarankan kepada ibu ibu untuk menyepakati penamaan dari motif tersebut, apakah berdasarkan motif dominan (hanya satu atau dua kata saja) atau berdasarkan gabungan motif yang ada pada anyaman tersebut. 

Motif (dare) yang dibuat dalam anyaman rotan mempunyai nama dan arti. Akan tetapi nama dan arti dari motif anyaman tersebut sudah hampir punah, hanya tambi-tambi (nenek-nenek) yang masih mengetahui nama dan arti dari motif anyaman tersebut. Untuk itu saya menyarankan ada kegiatan untuk menurunkan pengetahuan dan keterampilan dari para tambi kepada generasi penerusnya. Nama dan arti dari motif tersebut perlu dilestarikan sehingga makna pesan dari setiap motif yang merupakan kearifan lokal masyarakat Katimpun yang dituangkan dalam sebuah motif anyaman akan terpelihara terus. Beberapa ibi-ibu mengaku ada beberapa motif (yang sulit) yang tidak bisa dibuat oleh mereka karena untuk menyelesaikannya perlu waktu lebih lama.

Saya minta ibu-ibu mengidentifiaksi nama-nama dari dare yang sudah ada, dan saya melihat cukup banyak ragam dari dare tersebut. Beberapa dare masih perlu digali dari para tambi, termasuk makna dari motif (dare) tersebut. Saya yakin masih terdapat motif lain dari anyaman Katimpun. Saya menyarankan kepada Pak kades apabila seluruh motif anyaman sudah terkumpul dengan nama yang sudah dikonfirmasi. Kepala desa menetapkan nama dan motif anyaman tersebut sebagai motif anyaman rotan khas dan berasal dari desa Katimpun. Selanjutnya nama-nama motif tersebut disampaikan kepada Kecamatan Mantangai dan kabupaten Kapuas untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah. 

Terima kasih kepada teman-teman pendamping dari KPH Kapuas (Pak Faturrahman, Bu Nani, Bu Darmi) yang telah membantu selama kegiatan pelatihan. Terima kasih juga Kepada Pak Nanang, kepala desa Katimpun, serta Ibu-Ibu pengurus KUPS anyaman rotan yang telah memperkenalkan beberapa dare jawet rotan..... semoga kelestarian budaya leluhur desa Katimpun tetap terperlihara.