Cerita Pelestari Pinisi, Filosofi Hingga Pesanan Mancanegara

By Abdi Satria


nusakini.com-Bira- PINISI. Mendengar nama ini, kita semua pasti terbayang sebuah kapal layar besar dan megah. Pinisi yang dulu sudah sangat terkenal hingga ke manca negara, sampai sekarang keberadaannya masih terjaga dengan baik. Maka saat ke Bulukumba, rombongan kami begitu bersemangat mencari para pembuat kapal Pinisi ini. 

Hari ini, saya dan kawan kawan beruntung bisa menyaksikan langsung proses pembuatan kapal Pinisi, di Desa Tanahberu, Kecamatan Bonto Bahari, Bulukumba. Kami menyempatkan diri, duduk berbincang dengan Darwis Aburaera (49 tahun), di bawah rindangnya pohon, tepat di samping Pinisi yang sedang dikerjakan.

Darwis dan tiga teman lainnya yang sedang bekerja menyelesaikan pesanan Pinisi, dengan ramah menerima kami. Dari Darwis diketahui bahwa Pinisi memiliki nilai filosofis tersendiri.

Umumnya, Pinisi memiliki dua tiang dan tujuh layar. Ketika saya tanyakan apakah ada maknanya, seorang kawan Darwis lainnya yang masih berusia muda, Alfian Alnies (24 tahun), menjelaskan bahwa dua tiang menggambarkan "Dua Kalimat Syahadat", sementara tujuh layar mencerminkan "Tujuh Ayat Surah Al Fatihah". Lebih lanjut, Alfian menjelaskan bahwa komponen landasan atau dasar Pinisi totalnya berjumlah tigabelas, yang mencerminkan 13 Rukun Sholat. 

Lalu, bagian ujung kapal mencerminkan kepala manusia dan bagian depan Pinisi menggambarkan kaki manusia. Rangka kapal begitu mirip dengan susunan rangka atau tulang rusuk manusia. Jadi saat suatu Pinisi selesai dikerjakan, diartikan raga manusia sudah utuh diselesaikan.

Layaknya manusia yang memiliki jiwa dan raga, Pinisi juga tidak akan sempurna jika tidak memiliki jiwa. Maka, saat sebuah Kapal Pinisi selesai dan akan diluncurkan, perlu dilengkapi dengan jiwa. Jiwa ini ditandai dengan pembuatan lubang kecil di tengah kapal menyerupai pusar. Dengan adanya pusar tersebut berarti sudah lengkap sebuah Pinisi memiliki jiwa dan raga dan siap untuk digunakan berlayar.

Saat mulai dibuat, ada upacara tertentu yang dilakukan. Demikian pula halnya saat kapal siap dipakai, ada upacara yang disebut sebagai Ammosi, yang maknanya kira-kira memutus tali pusar seorang manusia (kapal siap diluncurkan).

Pinisi yang kami saksikan memiliki panjang 17 meter dan lebar 3 meter. Pinisi ini merupakan pesanan kedua dari Australia. Kapal kedua ini sangat spesial karena akan dipamerkan di Sydney pada Desember 2019. Sesudah selesai eksibisi, Alfian menjelaskan Pinisi akan ditempatkan di Museum Australia.

Bukan kali ini saja, Darwis dan kawan-kawan menerima pesanan dari luar. Negara-negara pemesan tersebar dari Asia sampai Eropa, misal Korea Selatan, Jepang, Belanda, Belgia dan Spanyol. Harga sebuah Pinisi terhitung fantastis. Rata-rata nilainya milyaran rupiah, tergantung besar dan kerumitannya.

Darwis dan Alfian, yang sudah menjadi generasi ke-11 pembuat Pinisi, menjelaskan untuk melestarikan tradisi Pinisi, perlu satu syarat utama. Keberadaan pembuat Pinisi penting, tapi tidak akan berarti jika tidak ada lagi kayu lokal yang lazim digunakan untuk dipakai sebagai bahan baku utama, yakni kayu biti. Jenis kayu lain seperti jati bisa berfungsi sebagai pelengkap. Karena itu, para pelestari tradisi Pinisi ini sangat berharap bahwa pohon biti masih harus terus dilestarikan. Tanpa biti tidak akan ada Pinisi, dan tanpa Pinisi satu ikon penting Indonesia di dunia juga akan hilang. (Tami)