Catatan Sepakbola M. Nigara: Rindu Waktu Dulu..

By Abdi Satria


M. Nigara

Wartawan Sepakbola Senior

KADANG saya rindu suasana sepakbola kita era 1980-90an. Era di mana persahabatan tidak diukur dengan materi. Saat di mana tawa dan amarah keluar tanpa prasangka. Ketika salam dan peluk tanpa agenda.

Tapi, ketika waktu bergerak, kita: saya dan sahabat, tak kuasa menahannya. Bukan hanya detik dan menit yang ditarik, tapi juga perubahan ikut larut.

Pedihnya, perubahan itulah yang paling kuat. Perubahan itu telah menyikirkan banyak kebaikan. Perubahan itu juga yang menyemburkan bergulung-gulung prasangka. Dan, perubahan itu pula yang menikam suasana sepakbola kita.

Maaf jika saya sebut, saat ini setiap kata punya harga. Setiap senyum ada bergunung agenda. Setiap langkah tak ada yang percuma. Pergaulan punya ukuran nyata.

Sampai di situ, rindu saya semakin membahana. Saya, mungkin juga kita, tak tahu lagi, mana ketulusan dan mana kepentingan. Semua telah terbungkus rapi.

Hari ini si-A jadi sahabat kita, esok dia atau kita, sudah melompat ke tempat lainnya. Hari ini si-B sependapat dengan kita, esok belum jelas posisinya.

Ada kisah nyata masa lalu, Mas Gareng (Sutjipto Suntoro) dan Oom Sinyo (Sinyo Aliandu) paling sering berseberangan. Berbeda dan berdebat, seperti menjadi bagian dari keduanya.

Tapi, ketika Mas Gareng gagal di Piala Dunia Junior, 1979, Tokyo, Oom Sinyo menjadi pembelanya. Begitu pun saat Oom Sinyo gagal meloloskan tim nasional ke Piala dunia 1986, Meksiko, Mas Gareng pasang badan.

Secara 'politik', keduanya, sejak masih sama-sama menjadi motor tim nasional 1960-70, selalu bersaing. Dalam banyak diskusi, keduanya nyaris selalu pula berhadap-hadapan. Tapi, ketika harus membela merah-putih, keduanya bahu-membahu. Hebatnya, tak ada agenda dan kepentingan apa pun kecuali ketulusan sebagai sesama. Kecuali keikhlasan sebagai insan bola.

Kok bisa? Jangan tanya itu sekarang.

Dulu kepentingan pribadi bisa ditekan. Orang kepentingan bersama masih jadi yang utama. Bukan, bukan berarti tidak ada beda. 

Sejak dulu beda itu ada. Sejak dulu beda itu bersuara. Tapi, bedanya dengan beda sekarang, semua tanpa agenda. Kita beda, tapi bisa selesai dengan senda gurau. Kita beda, bisa damai tanpa cela. Kita beda, bisa tertawa bersama. Sekarang? Jangan tanya itu sekarang.

Ditutup demikian rapat, beda itu tetap jadi mudarat. Disembunyikan demikian kuat, beda itu tetap saling menghujat.

Sungguh, saya jadi rindu suasana sepakbola 1980-90an. Rindu pada situasi yang tidak menghakimi. Rindu sepakbola yang tidak mencari sensasi. Rindu pada sikap sebagai kesatria bukan sebagai pencuri. Rindu pada perbaikan dalam situasi keikhlasan.

Dulu sepakbola kita memang tidak segempita sekarang. Tapi, tak pernah ada niat berperang. Dulu sepakbola kita juga belum berprestasi, tetapi tidak ada halusinasi.

Sekarang? Setiap kita terlihat ingin berperang. Setiap kita ingin saling terjang. Selalu saja ada niat menghadang. Dan tak jarang kita berbuat curang...

Semoga Bermanfaat


Semoga bermanfa