KALIMAT singkat itu seharusnya sudah bisa dicerna oleh para praktisi olahraga nasional. Apalagi, _Grand Design Olahraga Nasional_ atau Desain Besar olahraga Nasional (DBON) yang digagas Menpora Zainudin Amali, sudah rampung dan tinggal menunggu Perpresnya saja. Artinya, tidak pada masanya lagi jika cabang-cabang olahraga ingin meraih prestasi dengan jalan instan. 

Sejak lama dunia olahraga nasional kita selalu menerapkan pola bongkar-pasang untuk menghadapi berbagai event. Tim nasional nyaris tidak melewati fase berjenjang. Para atlet yang mengisi tim nas tidak pula melewati jenjang pembinaan seutuhnya. Rata-rata mereka tampil dalam posisi ditemukan atau bahasa gaulnya ujug-ujug

Untuk mengisi kekurangan tim nasional, pola naturalisasi menjadi pilihan. Mereka beranggapan dengan langkah itu, prestasi besar bisa mereka raih. Sepintas langkah itu seperti jalan terbaik, padahal faktanya tidak sama sekali. 

Mengapa tiba-tiba masalah naturalisasi mencuat? Padahal saat ini, Pemerintah dan kita semua sedang bersiap-siap menghadapi dan menjalani PPKM Darurat. Adalah pernyataan Sekjen PSSI, Yunus Nusi yang menyatakan siap mengeksekusi jika pelatih tim nas, Shin Tae Yong menyodorkan nama-nama pemain asing untuk dinaturalisasikan. 

Sontak Menpora Zainudin Amali bereaksi. "Untuk naturalisasi, akan saya perketat bagi semua cabor. Kita akan lihat seberapa besar urgensinya.," tegasnya. 

Masih kata Amali, sebaiknya kita memanfaatkan potensi yang ada. Karena kita ini akan membangun prestasi berdasarkan Desain Besar Olahraga Nasional (DBON). Dan barang itu sudah ada. "Jadi tidak boleh lagi kita mengharapkan prestasi secara instan, itu tidak bagus untuk pembinaan prestasi jangka panjang yang berkesinambungan," lanjutnya. 

Khusus untuk naturalisasi di cabor sepakbola ini, Amali melihat tidak begitu efektif untuk pembentukan Timnas. Apalagi kualitas mereka yang sudah dinaturalisasi, ternyata juga tidak  terlalu berbeda dengan pemain asli kita. Malah saat turnamen pra musim piala Menpora yang lalu, Amali begitu serius memperhatikan kualitas pemain-pemain naturalusasi itu. Yang sangat mengecewakan, mereka ternyata belum bisa jadi panutan bagi para  pemain asli kita. "Malah ada di salah satu pertandingan justru  pemain naturalisasi memperoleh kartu merah. Itu tidak memberi contoh bermain sepakbola yang baik," tambah Amali dengan nada getir. 

Tidak sampai di situ, Menpora juga menyebut ada seorang pemain naturalisasi yang dipanggil timnas untuk bertanding ke luar negeri, tetapi menolak dengan berbagai alasan. "Jelas rasa nasionalisme dan patriotismenya sangat rendah!" tegasnya. 


Pasang Badan

Zainduin Amali adalah Menpora pertama yang mau pasang badan untuk PSSI dalam naturalisasi. Meski bukan di eranya, (proses naturalisasi untuk Seag Manila 2019 yang lalu sudah dilakukan sejak menpora sebelumnya) tapi Amali bertarung keras di Komisi III, DPR-RI agar nama-nama yang telah diajukam itu, disetujui Komisi III. 

Artinya, Amali saat itu benar-benar membela kepentingan PSSI. Harapannya sama seperti mayoritas kita, ingin sepakbola bisa meraih prrstasi. Tapi, fakta di lapangan berbeda jauh sekali. "Untuk itu, saat ini saya tidak akan mudah lagi untuk membuat rekomendasi nsturalisasi, bukan srpakbola saja, tapi juga cabor lainnya!" 

Kekecewaan menpora bukan tanpa dasar. Jika sekjen PSSI masih juga melemparkan wacana naturalisasi, artinya ia tidak paham bahwa pembinaan berjenjang dan jangka panjang itu penting. Tidak ada lagi di era sekarang jalan pintas untuk meraih prestasi. 

DBON, itulah jalan keluarnya. Dari sana semua model pembinaan yang muaranya prestasi harus terjadi. Dengan begitu, maka olahraga kita benar-benar bisa tertata dengan baik. 

Sebagai contoh, bukannya tidak bagus, tapi jika diketahuinya sejak awal atau jika kita sudah memulainya dengan desain, maka hasilbya akan jauh lebih baik. Dulu, Ronny Patinasarani adalah ujung tombak PSM Makasar. Tapi karena kuota striker sudah penuh dan Wiel Coerver (pelatih timnas Pra Olimpiade 1976) seperti 'dipaksa' untuk menerima, maka posisinya dipindah ke libero. Ternyata Coerver sama sekali tidak keliru, Ronny jadi besar di posisi itu. 

Begitu juga dengan Didik Dharmadi yang selama ini kita kenal sebagai bak kiri paling handal. Awalnya adalah pemain depan. Dua contoh ini harusnya tidak terjadi lagi sekarang. DBON sungguh-sungguh alat ampuh untuk menuju prestasi olahraga kita ke depan. Lewat alat itu, semua atlet sudah terdeteksi sejak awal. 

Jadi, ayolah PSSI kita coba untuk memanfaatkan DBON agar tidak lagi mencari jalan pintas. Saya yakin, semua kita, termasuk PSSI pasti ingin sepakbola Indonesia berjaya. Untuk itu saatnya kita desain pembinaan itu dengan baik.

Saya yakin kita semua tahu bahwa mengurus olahraga itu perlu proses. Proses perlu waktu dan waktu harus dilalui dengan baik dan benar. Tidak mungkin menyulap pemain dan prestasi begitu rupa. Dan kita jangan malu untuk berkata: prestasi itu baru akan kita raih 5 sampai 10 tahun ke depan. Itu pun jika DBON sungguh-sungguh kita jalankan. 

Yang perlu diingat, prestasi itu sesungguhnya tidak identik dengan hasil instan. Tapi membuat pondasi seperti DBON itu justru prrstasi besar. Jangan lagi tergoda di masa kita prestasi dalam arti keberhasilan itu harus terjadi, padahal pondasi sama sekali tidak ada. 

Semoga bermanfaat..

M. Nigara adalah Wartawan Sepakbola Senior dan Mantan Wakil Sekjen PWI