Belajar Memahami dan Menghargai Tanpa Prasangka

By Admin


(Catatan: Swary Utami Dewi)

nusakini.com - Webinar yang digelar Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) pada 6 Maret 2021 menampilkan tema:

"Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia". Narasumbernya adalah Dr. Samsul Maarif (Dosen CRCS Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) dan Dr. Budhy Munawar-Rachman (Dosen STF Driyarkara, Jakarta). Diskusi berlangsung menarik dan saya sendiri antusias mengikutinya.

Berdasarkan pemahaman saya dari diskusi yang digelar LSAF tersebut saya mencatat bahwa ada paradigma yang keliru dalam memahami agama-agama yang "kerap dinamai" sebagai "agama lokal/leluhur" dan sejenisnya. Misalnya konsep tentang Yang Esa atau Tuhan. Bagi agama "lokal/leluhur", Yang Kuasa bisa jadi dimaknai tidak hanya satu. Bisa juga semua yang ada di alam memiliki energi/kuasa tersendiri yang ada pada dirinya, yang masing-masing menjadi patut dan layak dihargai.

Selain itu, dalam "agama leluhur", umumnya relasi yang terjalin antara manusia dengan sekitarnya (dengan alam, juga dengan apa yang tak terlihat) juga merupakan relasi saling (inter-subject relation). Alam dan semua adalah sesuatu yang dihargai, yang setara dengan manusia. Mereka tidak dipandang lebih rendah atau berada di bawah kuasa manusia. Oleh karenanya respek terhadap alam beserta spirit yang ada di semesta ini begitu terlihat dan diwujudkan. Bentuknya bisa melalui komunikasi antar subyek, misalnya ijin kepada hutan untuk memasuki hutan itu, tidak semena-mena mengambil yang ada di alam, upacara berterima kasih kepada alam yang sudah memberikan panen berlimpah dan sebagainya. 

Selain itu, karena sifatnya yang menghargai semua sebagai subyek dan setara menyebabkan pemeluk agama "lokal/leluhur" melihat yang lain, termasuk agama dan kepercayaan lain sebagai sesuatu yang selalu mengandung unsur dan nilai baiknya dan karenanya patut dihargai dan tidak dicurigai. Singkatnya, segala sesuatu dilihat sebagai sesama/subyek, memiliki marwah, patut dihargai dan diperlakukan sebaik mungkin.

Sebaliknya, paradigma dan konsep yang berbeda dari agama besar/dominan (atau tepatnya dari mayoritas pemeluknya), melihat alam sebagai sesuatu yang harus dimanfaatkan, bahkan dieksploitasi untuk kepentingan manusia. Alam berada di bawah kuasa manusia.

Pandangan rasionalitas yang dimiliki para pemeluknya juga seringkali memandang berbeda ekspresi kesetaraan pemeluk agama "lokal/leluhur" dengan alam dan semesta, sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, yang dipraktikkan oleh sekelompok orang yang memiliki peradaban lebih rendah dan tidak bernalar.

Para pemeluk agama dominan juga cenderung memiliki klaim bahwa agamanya sebagai yang paling benar. Boleh jadi ada pandangan bahwa yang lain yang agamanya berbeda haruslah diselamatkan dengan cara memeluk agama yang benar tadi supaya bisa masuk surga, tidak kafir dan sebagainya. Juga ada semangat untuk "memajukan" hal-hal yang dipandang tidak beradab tjnggi dan tidak masuk akal dari agama-agama "lokal/leluhur" tadi. Karenanya, pemeluk dan agamanya itu harus diperbaiki, diubah, dididik supaya bisa berbudaya dan beradab sesuai dengan standar rasionalitas, kemajuan dan klaim kebenaran dari para pemeluk agama "dominan" tadi.

Sejalan dengan sejarah kolonialisasi, pendudukan dunia beserta berbagai bentuk persaingan yang menyertainya, berbagai wujud tindak penaklukan terhadap agama-agama "lokal/leluhur" dan pemeluknya juga terjadi. Dari yang sifatnya menyerukan hingga memaksa untuk berubah agama. Zaman yang lebih modern nampaknya juga masih menyisakan semangat penaklukan dan peminggiran terhadap agama-agama "lokal/leluhur" ini melalui berbagai cara dan tingkatan (kuasa negara dan kuasa pemeluk agama dominan yang berbeda)

Jika kita semua meyakini bahwa agama-agama besar juga sejatinya memiliki nilai-nilai kesetaraan dan keadilan dalam berbagai bentuk, sudah saatnya untuk melihat kembali paradigma, kebijakan dan praktik yang tidak tepat tadi. Perlu kiranya utnuk melihat ulang kembali semua hal yang selama ini sudah kita yakini sebagai tepat dan benar. Mari perbaiki yang keliru dan berani untuk melihat bahwa yang lain juga sama bernilai dan berharganya dengan kita. Mari belajar memahami dan menghargai tanpa prasangka, tterhadap nilai-nilai kebaikan yang ada di setiap agama termasuk agama lokal/leluhur tadi.