Intelektualisasi Politik Atau Politisasi Intelektual, Mempertanyakan Integritas Pemburu Gelar Doktor
By Admin
Oleh: Sofwan Rahman, hanya sarjana.
“Saya kira Pak Hasto tidak sedang mencari gelar!” ungkap Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc. dalam sidang untuk meraih gelar Doktor kedua Mas Hasto Kristiyanto di Universitas Indonesia pada tanggal 18 Oktober 2024. Pernyataan itu mengandung pertanyaan, lantas untuk apa gelar Doktor kedua itu? selama sidang terjawab, sejatinya berburu gelar tidak untuk pengakuan apalagi jabatan. Tersadarkan bahwa meraih gelar Doktor adalah cara meraih kembali tradisi intelektual dalam dunia politik Indonesia, dimana gelar akademis tertinggi turut bertanggung jawab untuk mencegah politik yang anarkis. Terbukti secara ilmiah, perjuangan intelektual para pendiri Bangsa berhasil menempatkan Republik baru bernama Indonesia sebagai pemimpin perlawanan untuk memerdekakan banyak bangsa dari anarkisme politik internasional.
Sebagai warga negara yang menyaksikan sidang itu saya mencatat, disertasi Mas Hasto memberi landasan sistem, bahwa partai politik yang dikelola dengan baik sejatinya menjadi manivestasi etos gotong royong untuk mencapai kedaulatan dalam kehidupan keseharian, bukan hanya mesin elektoral lima tahunan. Dengannya tergambar jelas, mengelola partai tak ubahnya mengelola negara, membumikan ideologi sebagai kesadaran dan keahlian kolektif untuk menjawab tantangan ber-Indonesia.
Saya tidak memotret peristiwa hari itu sebagai momen pengukuhan gelar, tapi momen pengukuhan integritas intelektual. Hari itu disertasi Mas Hasto mengkontruksikan sistem pembelajaran bersama, agar Indonesia tidak jatuh lagi dalam sistem kekuasaan yang mendestruksi pilar-pilar demokrasi. Mas Hasto dalam orasi ilmiahnya melantangkan, seorang intelektual hidup dalam tradisi kontemplatif yang progresif, secara berkelanjutan mengkonstruksikan perbaikan. Di sini tercetak pemikiran, bahwa kewaspadaan intelektual tidak menyandera kemajuan tapi menjadi rambu yang menghindarkan ketersesatan dari tujuan. Hingga akhirnya terekam, sidang disertasi Doktoral Mas Hasto hari itu adalah peristiwa intelektualisasi politik, pengukuhan gelar tertinggi yang mentradisikan nilai kejujuran dalam menggali bahan baku kebijakan politik agar lebih bermaslahat dan bermartabat. Semoga tawaran intelektual ini disambut dunia kepartaian yang merupakan wadah partisipasi rakyat dalam bernegara. Sayapun membatin, semoga pula para petinggi partai tersadarkan, bahwa Indonesia bukan butuh manusia yang memegang ijazah doktor, tapi lebih banyak figur dengan kapasitas dan integritas Doktor.
Lantas saya menjelajahkan optic kepenasaran, kenapa gelar Doktor begitu diburu banyak petinggi politik, baik di legislatif, eksekutif bahkan petinggi militer? apalagi yang harus mereka validasi? Apakah kapasitas professional dan integritas moral menjadi valid dengan gelar Doktor? Atau justru gelar Doktor kehilangan validasinya, karena diburu untuk dijadikan kemasan politik polulis?
Menjadi Doktor adalah proses yang tidak dihitung jumlah semester. Tapi dihitung kadar keotentikan hingga kejujuran, karena dengannya terbentuk karakter seorang penggali nilai. Beda dengan sarjana yang hanya dituntut untuk memahami nilai, dan master yang tahu cara mempraktekan nilai. Dalam ke-Doktor-an terkandung mandat untuk jadi panutan bagi strata gelar di bawahnya untuk tiada henti memprogres penemuan jalan demi lolos dari rintangan dan tantangan yang selalu berdatangan.
Kini saat semakin membudaya pelencengan meraih gelar Doktor sejak dari niat hingga proses, maka kita wajib waspada, ke mana arah perjalanan berbangsa dan bernegara kita? Bukan hanya arah dunia pendidikan kita! Karena para Doktor ini berada di haluan depan menavigasi arah bahtera Indonesia, saat sebagian besar penumpangnya harus mengarungi dunia yang sedang membadai tanpa pelampung.
Jika gelar Doktor bisa digunakan untuk membahlulkan Rakyat pemilik suara, bagaimana dengan hutan, gunung, sawah dan lautan dan penghuninya yang tak bisa bersuara? Mungkin kekayaannya hanya akan tercatat dalam catatan kaki belaka atau sebagai saham milik mereka yang memanipulasi gelar saja.
Untuk ekosistem kampus, kredibilitas tidak ditentukan jumlah Doktor yang diluluskan, tapi kualitas ke-Doktor-an yang dihasilkan. Pelecehan pada proses meraih gelar, hanya akan menistakan posisi lembaga pendidikan tinggi. Kiprah Doktor abal-abal hanya akan merusak reputasi kampus bahkan negara dengan fatal.
Untuk para politisi, hentikan politisasi gelar intelektual. Didiklah diri sendiri untuk berintegritas bukan untuk mengejar legalitas. Ijazah tak meninggikan marwah, jika diburu untuk mendapat gelar yang gagah. Akreditasi pejabat, ada pada kesetiaan menjalankan amanat, bukan pada strata tertinggi yang dipanjat. Jadilah pakar dalam menuntaskan kewajiban, demi menghormati Rakyat Indonesia yang pakar dalam memendam kesabaran.
Selamat untuk mereka yang meraih gelar Doktor dengan niat dan cara yang bermartabat, semoga menjadi cermin agar tak membudaya lagi perburuan gelar Doktor dengan niat dan cara yang kotor.
Jakarta, 20 Oktober 2024