Berupaya Menjemput Harapan
By Admin
Oleh: Swary Utami Dewi
"Mengapa ada seseorang dokter yang justru menjadi wakil menteri yang mengurusi kehutanan?" Seorang kawan bertanya begitu di suatu grup WhatsApp (WA). Setengah bercanda aku menjawab, "Mungkin tujuannya supaya hutan kita menjadi lebih sehat. Bisa jadi ia pas disebut sebagai Wakil Menteri Urusan Kesehatan Kehutanan."
Aku sebenarnya menjawab dengan rasa penasaran. Karena bermukim lama di satu provinsi yang kental dengan tambang, aku cukup ternganga melihat beberapa nama yang menjadi menteri dan wakil menteri, termasuk Pak Dokter tadi. Dan tentu saja, karena lama berkecimpung di isu Perhutanan Sosial dan ekologi, bersama masyarakat hutan dan para pihak terkait (lebih dari 20 tahun), termasuk dengan departemen/kementerian terkait, maka aku ingin tahu siapa-siapa yang akan mengurusi masalah kehutanan, lingkungan hidup dan sekitarnya di kabinet baru ini. Aku lalu hanya bisa mengatakan wow saat kabinet diumumkan.
Ooo, ternyata ada beberapa nama yang relatif sangat dekat dengan sang pengusaha tambang yang masuk dalam Kabinet. Lalu ada nama-nama yang masih dekat dengan rezim lebih lama serta rezim yang baru berganti. Tak pelak ini menimbulkan tanda tanya di banyak media massa dan media sosial. Ada pula nama-nama yang dulunya merupakan aktivis. Tapi kebanyakan memang tampak upaya perimbangan komposisi menteri dari unsur partai politik, pengusaha, pemerintahan lama dan sangat lama, serta aktivis. Di antara nama-nama yang dilantik ada beberapa yang memang zaken dan berlatar belakang akademisi.
Aku mencoba memahami apa yang ingin dilakukan dengan campuran kabinet yang unik ini. Unik karena nama-nama aktivis, akademisi plus profesional yang zaken, duduk bersama satu perahu dengan beberapa yang bisa dikategorikan bagian dari pengusaha dan rezim lama. Di satu grup WA aku melontarkan canda bagaimana serunya nanti saat para aktivis, yang dulunya sangat kritis, bisa satu tempat dengan unsur-unsur penting pengusaha tertentu. Akankah ada kontrol yang baik? Ataukah di zaman kini latar belakang sudah tak penting dan idealisme menjadi kenangan masa lalu? Maka, ekspresiku terus berganti-ganti dari kecut, nyengir, juga senyum berharap. Campur aduk dan makin penasaran.
Mau di bawa ke mana negara ini? Begitu kata pengemudi online yang tampak begitu cerdas bisa mengomentari susunan kabinet tersebut. Bagi bapak pengemudi ini yang penting agar prosentase potongan ke perusahaan online-nya bisa berkurang. "Saya merasa bekerja rodi. Minimal bekerja selama dua belas jam. Jika dapat kotor tiga ratus ribu, sesudah dipotong 30 persen untuk perusahaan, bayar tol, beli bensin dan makan, yang benar-benar saya bawa pulang tak sampai seratus ribu. Padahal anak-anak dan istri butuh makan, sekolah, sehat dan sebagainya. Saya merasa tak akan mampu membiayai anak berkuliah. Jika mereka bisa lulus SMA saja, saya sudah senang."
Ucapannya terdengar sangat getir. Bisa jadi ia menahan kepedihan hati akan nasibnya sebagai rakyat kecil. Jeritan yang sama menjadi makin sering kudengar. Asal bisa makan, perusahaan tutup lalu dipecat, susah cari kerjaan, jika bekerja ada dalam pekerjaan semu dan mendapatkan perlakuan tak adil dan sebagainya. Suara-suara ini, anehnya, hampir tak pernah muncul dalam survei-survei yang kerap menampilkan hasil tentang berhasilnya pemerintahan, kinerja yang baik dan sebagainya. Lalu jika jeritan rakyat ini selalu ada, maka ukuran berhasil versi survei selama ini sebenarnya untuk siapa?
Aku juga banyak berdiskusi dengan kawan-kawan tentang isu pengelolaan sumber daya alam, yang makin lama tampak bergaya ekstraktif, dan abai terhadap kelestarian. Lagi-lagi yang paling terkena dampak adalah kelompok-kelompok marginal. Aku juga berpikir banyak tentang ironi pertumbuhan ekonomi, yang justru sangat tak berdampak banyak bagi pengemudi online tadi, bagi mereka yang banyak di-PHK, bagi Gen-Z yang susah mencari pekerjaan, bagi keluarga-keluarga yang hampir pasti perlu upaya sangat keras untuk bertahan hidup, bagi kelas menengah bawah yang sedang was-was terjerembab ke kategori miskin, dan masih banyak lagi lainnya.
Tanganku membuka buku baru, Theology of Hope, karya seorang sahabat, Prof. Komaruddin Hidayat. Ada pengantar buku ini yang ditulis secara apik oleh sahabat lain, Bang Yudi Latif, tentang harapan yang positif. Bahwa harapan yang positif bergema dari jiwa-jiwa altruis. Jiwa-jiwa ini misalnya dimiliki oleh komunitas yang murni bergotong-royong, oleh hartawan dermawan yang betul-betul memberi tanpa motif gila harta dan dipuja-puja, serta manusia-manusia lain yang betul-betul ingin berjuang untuk kebaikan negeri.
Aku mengintip kembali Asta Cita, yang menjadi misi dan program kerja pemerintahan sekarang:
1. Memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM);
2. Memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru;
3. Meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, dan melanjutkan pengembangan infrastruktur;
4. Memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas;
5. Melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri;
6. Membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan;
7. Memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba;
8. Memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan, alam, dan budaya, serta peningkatan toleransi antarumat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Ada harapan baik saat melihat ini. Delapan cita-cita itu jika betul-betul terwujud akan sangat berdampak bagi rakyat banyak, dan tentunya juga bagi keberlanjutan kehidupan anak cucu kita. Maka, sambil terus memikirkan komposisi kabinet unik ini, aku terus membangun asa agar pemerintahan yang baru ini bisa betul-betul menjadi game changer untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat, bukan bagi kelompok oligarki, free rider, oportunis dan manusia-manusia sejenisnya; Game changer agar bangsa ini bisa lebih baik dalam berbagai hal; Agar bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas, bermartabat dan berdaulat; Agar bangsa ini bisa terus menjaga keseimbangan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan; Agar bangsa ini bisa terus mendorong pembangunan yang juga memperhatikan kelestarian ekologi bagi anak cucu kita.
Meski tak bisa dipungkiri masih ada rasa cemas dan penasaran, aku masih ingin terus berupaya menjemput harapan untuk Indonesia yang lebih baik.
Jakarta, 22 Oktober 2024