nusakini.com - Jakarta - Soal banyaknya utang Indonesia kembali marak dijadikan komoditas kampanye jelang debat pilpres 2019 kedua. 

Bahkan capres presiden nomor 2 Prabowo Subianto sering sekali memakai isu ini dan menyebut Sri Mulyani sebagai Menteri Pencetak Utang.

Dari data Glabal Finance, jumlah utan Indonesia memang naik secara rasio terhadap GDP pada era Presiden Jokowi. Menurut data tersebut rasio utang Indonesia per Desember 2018, sudah mendekati 30 persen.

Mengapa perhitungan utang ke rasio GDP itu penting? Mengutip CNBC, perbandingan rasio terhadap GDP menghitung daya bayar negara dan membantu mengukur seberapa besar utang menolong pertumbuhan.

Bagaimana di Indonesia? Jika melihat data Global Finance pada akhir tahun lalu, rasio utang Indonesia terhadap GDP adalah terendah kedua di Asia Tenggara, dan hanya dikalahkan Brunei. Berikut daftarnya:

Indonesia: 29,8 persen

Malaysia: 55,1 persen

Brunei: 2,3 persen

Singapura: 112,8 persen

Vietnam: 57,8 persen

Myanmar: 33,1 persen

Filipina: 39,7 persen

Laos: 66,7 persen

Kamboja: 31,7 persen

Thailand: 41,9 persen

Tentunya, semakin besar rasio utang terhadap GDP bukanlah hal baik, karena negara terancam kesulitan mengelola utang. Meski begitu, nyatanya banyak negara yang rasio utangnya melewati 100 persen, seperti Amerika Serikat yang baru menyentuh 104,1 persen, bahkan rasio utang Jepang sudah 238 persen.

Pada awal tahun ini, Sri Mulyani menyebut rasio utang telah mencapai 30 persen. Ia pun menyebut, batas aman utan Indonesia adalah tidak mencapai 60 persen dari GDP.

"Banyak negara maju yang punya utang lebih banyak, banyak negara-negara emerging juga punya utang lebih banyak," kata Menkeu Sri. (b/ma)