Usulan Kadin untuk Kebijakan Perpajakan

By Admin

nusakini.com--Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan P. Roeslani mengatakan kebijakan fiskal seharusnya menjadi perangkat untuk meningkatkan atau menstimulus pencapaian dari program ekonomi nasional. 

Hal ini disampaikannya saat menjadi pembicara pada acara dialog yang diselenggarakan oleh HIPMI dan KADIN yang bertajuk "Arah Kebijakan Perpajakan 2018" di Hotel Kempinski, Jakarta.

Selain Rosan, turut menjadi pembicara pada dialog tersebut antara lain Ketua Umum BPP HIPMI Bahlil Lahadalia, perwakilan Komisi XI DPR RI Misbakhun dan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan. Dialog tersebut dimoderatori langsung oleh Maruarar Sirait, Anggota Komisi XI DPR RI. 

Rosan menjelaskan, seharusnya kebijakan pemerintah sesuai dengan kondisi ekonomi yang sedang terjadi. Jika pada saat perekonomian sedang mengendor, pemerintah harus menciptakan kebijakan-kebijakan yang mampu menstimulus dunia usaha semakin meningkat. 

"Jika pertumbuhan lagi mengencang kita pengusaha juga akan mengerti untuk membayar pajak yang lebih tinggi," kata dia. 

Jika memungkinkan, Rosan mengusulkan agar pemerintah membebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada setiap transaksi selama jangka waktu tertentu. Hal ini dilakukan guna meningkatkan daya beli masyarakat karena selama ini PPN menjadi salah satu komponen yang membuat harga barang lebih tinggi.

Menurutnya, bebas PPN bisa diberlakukan dalam kurun waktu seminggu atau sebulan agar daya beli masyarakat bisa kembali terdongkrak dan merangsang pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

"Pertumbuhan perekonomian kita growth-nya menjadi lebih banyak. Karena, kembali lagi, pertumbuhan ekonomi kita 50% lebih berasal dari konsumsi domestik. Kalau orang spending (membelanjakan uangnya), perekonomian akan jalan," kata Rosan. 

Selain pembebasan PPN sementara, Kadin juga meminta pemerintah memberi insentif fiskal agar peranan sektor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi kembali muncul. Kebijakan ini diharapkan bisa menjadi solusi permasalahan deindustrialisasi yang terjadi selama bertahun-tahun. 

Berkaitan dengan itu, Kadin mengusulkan tambahan insentif fiskal di dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan zona perdagangan bebas (Free Trade Zone). Secara rinci disebutkan, Kadin menginginkan adanya pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) (tax allowance) sebesar 50 persen-100 persen bagi perusahaan yang berkomitmen membangun pendidikan vokasi. 

Tak hanya itu, Kadin juga meminta pemerintah menerapkan tax allowance mencapai 200 persen bagi perusahaan yang aktif melakukan riset dan pengembangan (Research and Development). 

Dengan kebijakan tersebut, Kadin optimis banyak perusahaan yang mau mengembangkan pendidikan vokasi demi mencetak sumber daya manusia yang unggul. Menurut catatan Kadin, saat ini terdapat 2.416 perusahaan anggota Kadin yang sudah siap mengembangkan pendidikan vokasi. “Kami juga melihat riset dan pengembangan di tingkat pengusaha Indonesia cukup rendah dibanding negara-negara Asia Tenggara," tambah Rosan. 

Seperti diketahui sebelumnya, penanaman modal di KEK sudah dijamin mendapatkan fasilitas penghapusan pajak (tax holiday). Hal itu tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 104/PMK.010/2016, di mana investor bisa mendapat pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) badan sebesar 20 persen hingga 100 persen. 

Meski demikian, Investasi di 11 KEK yang sudah ada dinilai belum signifikan dan masih perlu terus ditingkatkan. Apalagi, sebagian besar KEK tersebut bergerak di sektor-sektor strategis. “Kami bicarakan ke Menteri Koordinator bidang Perekonomian dan Menteri Keuangan bagaimana KEK ini bisa lahirkan industri baru dengan kebijakan fiskalnya, sehingga KEK yang banyak di Indonesia ini bisa membawa industri berkembang,” jelas Rosan. 

Ia menambahkan, kebijakan ini tentu akan berdampak pada peningkatan nilai tambah dan kualitas dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, ia juga berharap bisa meningkatkan kembali porsi industri manufaktur di dalam komponen pembentuk produk domestik bruto (PDB).

Menurutnya, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB saat ini kian memprihatinkan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), komponen industri manufaktur memang masih mendominasi PDB dengan angka 19,93 persen di kuartal III. Sayangnya, angka ini sudah jauh berkurang jika dibanding tahun 2001, di mana kontribusi manufaktur terhadap PDB hampir mencapai 30 persen.  

Pihaknya berharap, usulan kebijakan-kebijakan perpajakan bisa segera diterapkan pemerintah agar pertumbuhan perekonomian nasional bisa meningkat dengan signifikan. (p/ab)