Tiga Model Pemahaman Islam di Indonesia Menurut Kiai Hasyim

By Admin

nusakini.com--Anggota Dewan Pertimbangan Presiden KH A Hasyim Muzadi (Kiai Hasyim) melihat, secara garis besar, ada tiga pola pemahaman dan pemikiran Islam di Indonesia. Pertama adalah Tekstual. Sebuah pemahaman ‘murni’, jadi, agama dipahami dan dikerjakan sesuai bunyi teks secara lafdhiyah/harfiah.

“Paham ini sangat kaku dan tidak mau menerima pengertian yang beda,” terang Kiai Hasyim saat menjadi pembicara pada Sarasehan Nasional Direktorat PAI Ditjen Pendis yang dalam kesempatan tersebut mengangkat tema: “Potensi Pendidikan Islam Indonesia menjadi Rujukan Pendidikan Moderat Dunia” di Jakarta, Senin (13/06). 

Pola kedua adalah Moderat. Menurut Kyai Hasyim, moderat itu, istilahnya kita yang membuat sendiri, namun ada dasar hukumnya. Model ini mengakomodir perkembangan keadaan tanpa menggeser prinsip dan miqod-nya. Kita tetap mendirikan shalat lima waktu, tapi sisi lain tidak mengobrak abrik agama lain.

Dakwaannya tidak bertentangan, ketika ada perbedaan, semua ditarik ke dakwah. Namun, jika tidak bisa, menurut mantan Ketua Tanfidziyah PBNU, ya sudah.  “Nah, model inilah yang dipakai oleh para ulama Kita jaman dahulu ketika mengislamkan Nusantara dan mengislamkan orang kafir. Mereka memakai prinsip mu’tadilin, tegak lurus, tapi tidak ekstrim. Kita menyebutnya Hanifiyatus sam-hah. Jadi, tanpa merendahkan agama lain, Islam mampu diterima dengan baik,” imbuh Kiai Hasyim  

Model Ketiga, adalah Liberal. Kyai Hasyim memberi pandangan dan ilustrasi, orang Islam yang dalam menjalankan agama, disesuaikan kan dengan keadaan. Jadi, jika model tekstual itu tidak kompromi, jika moderat itu ada kompromi tapi tetap menekankan pada aspek agamanya, maka liberal adalah menekankan pada aspek keadaan nya.  “Jadi, agama yang mengikuti keadaan,” tandas Kiai Hasyim. 

Jika kita ingin agama kita sehat, Kiai Hasyim menganjurkan untuk menggunakan pola hanifiyatus sam-hah, yang menyeimbangkan. I’tidal kelurusan dengan prinsip akomodasi selektif. 

Selain itu, dalam paparannya, Kiai Hasyim juga mengulas tentang faktor terjadinya ekstrimisme. Menurutnya, setidaknya ada dua faktor terjadinya ekstremitas di Negeri kita. Pertama adalah pemahaman terhadap Islam. Kedua adalah pengaruh pemikiran dari luar Indonesia yang masuk, yang di dalamnya membawa pula sistem politik dari negara asalnya.  “Kita sering menyebutnya transnasional,” ucap Kyai Hasyim. 

Kiai Hasyim juga membahas beberapa hal yang kini sedang dihadapi Indonesia, seperti korupsi, narkoba, terorisme, sentralisasi, isu PKI, Papua dan lain sebagainya, termasuk juga makna HAM. Tentang Narkoba misalnya, Kyai Hasyim mengilustrasikan, untuk membuat 1 kg Narkoba, butuh biaya 60-70 juta. Namun 1 kg Narkoba bisa dijual seharga Rp 2 M.  

“Nah, bayangkan sendiri bagaimana para petugas kita menghadapi ujian dengan banyaknya uang yang beredar yang selalu menguji keimanan. Mau tidak mau, jika bangsa ini ingin mandiri dan maju, maka kita harus melakukan konsolidasi nasional,” tutur Kiai Hasyim (p/ab)