Tandon Air Biru Menyeka Embung Keruh Warga Lamongan

By Abdi Satria


nusakini.com-Lamongan-Serakan botol air mineral bekas perlahan diacuhkan Dhofir. Sesekali ia mengernyitkan dahi, terdiam memandangi hamparan air keruh di depan mata. Berdiri menepi, mengingat kuatnya sengatan matahari. Sudah turun menurun, telaga desa (baca: embung) jadi pelepas dahaga. Tak peduli lagi warna dan rasa. Bagi warga Desa Sekaran, Kec. Sekaran, Kabupaten Lamongan mendapatkan air layaknya bak berburu harta mewah. 

"Lamongan ini wilayahnya maju, perekonomian juga tidak ada masalah, hanya saja masalah air bersih dari dulu masih jadi kendala," keluh Dhofir dengan kaus lusuhnya pada Kamis (15/3) lalu. Sembari memegang bekas lubang sobekan bajunya, ia menyiratkan warna lusuh dari hasil cucian air embung. Tapi, tak ada pilihan lain bagi Dhofir. Embung menjadi sumber air utama setelah nyala air PDAM tak sanggup mengalir. 

Embung adalah muara aktivitas harian warga. Minum, mandi hingga cuci pakaian berbondong-bondong menyedot air hasil curahan hujan. Berlumut, hijau dan kecoklat-coklatan tak jadi masalah. Bila pengasihan air dari langit itu tak tiba, pria berusia 39 tahun ini nampak pasrah. Ratusan rupiah mesti keluar dari kantong sakunya yang pas-pasanan sebagai tukang cocok tanam. "(Beli) buat masak sendiri, buat minum sendiri. Tergantung kebutuhan masing-masing keluarga," ujarnya. Seminggu sekali harus sedia minimal 10 jerigen air bersih buat memasak. Satu jerigen dihargai Rp1.000 hingga Rp2.000, dan Rp5.000 per galon untuk konsumsi air minum. 

Musim kemarau membuat tampungan air embung dangkal. Dhofir berkisah warga setempat rela patungan memenuhi genangan air embung. Berjalan sekitar kurang lebih satu kilometer, derasnya aliran air sungai Bengawan Solo juga tak gratis semata. Ada biaya pemindahan lewat alat pompa sebesar 2 juta rupiah akibat jarak yang terlampau jauh. "Warga yang ambil air di embung dikenai iuran sekitar Rp60 ribuan/jam," tutur Dhofir. Masalahnya, pemindahan air ini juga membutuhkan waktu tak sebentar. Cekungan embung baru terisi penuh dalam waktu kurang lebih seminggu.

Cerita Dhofir terpancar pada ayunan tangan Marfu'ah. Wanita separuh baya ini lihai mengayunkan ember kecil bekas adukan semen. Hanya melangkah beberapa kaki dan bersekat jalanan desa, liukan tangannya membelah air keruh embung. "Ini buat minum entok (angsa)," nampak senyum bibirnya menyambut ramah di perkarangan rumah. 

Berbalut baju merah dengan kain hijau menutup kepala, Marfu'ah sudah terbiasa menjalani kehidupan yang serba kekurangan air bersih. "Memang dari dulu. Kaya begini kondisi daerahnya. Kering," ungkapnya sambil melangkah menitip coklatnya alas tanah. Tubuh ringkihnya setia jadi penyanggah lilitan tangan tiap gotongan ember masuk ke rumah. 

Beruntung, nenek tadi tak perlu tiap hari minum air hasil tentengannya dari embung. Kini, ia cukup lega, dekat rumah ponakannya Dhofir sudah terpasang instalasi air bersih, persis di samping rumahnya. "Saya tinggal sendiri, biasanya dari ponakanku yang sudah pasang (intalasi air bersih)," syukurnya dengan ucapan yang mulai terbata-bata termakan usia. 

Wajah Dhofir memang nampak ceria. Rekahan senyumnya kerap terpancar kala berbincang ringan dengannya. Telunjuk Dhofir berkali-kali mengarahkan ke tandon warna biru yang cukup mencolok tepat di pinggiran telaga desa. Penampungan air biru beserta satu bangunan berisi genset mengubah kondisi Dhofir dan para tetangganya. Aliran pipa baru mengikis saluran lama dari waduk.

"Sekarang hampir tak ada yang pakai embung, makanya tak terurus. Masyarakat antusias dan merasakan betul manfaat dari sumur bor dari Kementerian ESDM. Benar-benar hal yang tepat, sederhana tapi tak bisa diselesaikan dari dulu," kata Dhofir. 

Sebagai oase baru, Dhofir pun bisa menghemat pengeluarannya seperlima puluh dibandingkan membeli air bersih dari penjualan-penjualan tangki-tangki. Setelah aset ini diserahkan oleh Kementerian ESDM kepada Pemerintah Daerah, maka sumur bor air tanah ini rencananya akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dengan biaya sebesar Rp2.000 per 1.000 meter kubik. 

Begitu besarnya manfaat dari sumur bor air tanah ini, kisah menarik juga disampaikan oleh Sekretaris Desa Sambopinggir, Kec. Karangbinangun, Lamongan Ahmad Zainuri. "Warga desa setempat sampai-sampai kumpul bareng, melaksanakan hajatan berupa potong sapi," beber Zainuri. 

Dua desa tadi merupakan bagian dari 10 desa yang mendapatkan bantuan sumur bor air tanah di Lamongan pada tahun 2018. Permasalahannya pun sama, krisis air bersih yang berkepanjangan saat dilanda musim kemarau. "Sesuai survei Badan Geologi memang wilayah ini layak mendapat sumur bor air tanah," kata Staf Ahli Menteri Bidang Perencanaan Strategis Yudo Dwinanda Priaadi mewakili Menteri ESDM sesaat sebelum meresmikan penyerahan sumur bor tersebut. 

Meski sempat berbau belerang, Yudo mengakui lama kelamaan baunya bakal tak terasa lagi. Sebagai wilayah yang masuk masuk zona Pantura, musim kemarau bakal berjalan panjang. "Memang sekarang lagi musim hujan, tapi jika musim kemarau tiba, akan sangat terasa (manfaatnya)," papar Yudo di hadapan para warga. 

Sebelumnya, Amin yang tinggal di Desa Sambopinggir menuntut kami keliling desa. Menemui waduk besar yang aktif difungsikan sebagai tempat pencarian sumber air. "Makin ke Utara, makin kering kalau musim kemarau. Makanya, tiap rumah pasang air penampungan hujan," ujarnya pria tambun berkacamata. Bedanya, di Sambopinggir sebagian besar warga sudah punya sumur air (bongbis) yang dangkal sekitar 20 meter. "Lumayan bantu kami," kata Amin. Ia pun bersyukur kala sumur bor air tanah dengan kedalaman 152 meter melengkapi kebutuhan air bersih mereka. "Sungguh ini penting bagi kami manfaatnya jika musim kemarau," ujar Amin. Ia pun bersyukur dan berharap bantuan Pemerintah ini mampu membasahi gersangnya tanah kelahiran mereka. 

Dua unit sumur bor di Desa Sekaran dan Sambopinggir adalah satu dari 322 unit yang dibangun Kementerian ESDM di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2005 - 2018. Terhitung dalam kurun waktu empat tahun terakhir, Pemerintah sudah membangun 164 unit. Rinciannya, 12 unit di tahun 2015, 22 unit (2016), 53 unit (2017) dan 77 unit (2018). Pada Tahun 2019 ini, Pemerintah memetakan untuk Jawa Timur sebanyak 98 unit.

Dalam skala nasional hingga akhir tahun 2018, 2.288 titik sumur bor telah dibangun memberikan layanan air bersih kepada 6,6 juta jiwa. Dari titik-titik sumur bor tersebut mengalir 144,4 juta m3 /tahun untuk 499 Desa di 396 Kecamatan yang tersebar di 175 Kabupaten/Kota yang terdapat di 27 Provinsi seluruh Indonesia. Untuk tahun 2019 penduduk yang dilayani akan bertambah 1,8 juta jiwa melalui pembangunan 650 unit sumur bor di seluruh Indonesia. 

Bantuan satu unit sumur bor terdiri dari sumur, pompa selam, rumah pompa, mesin generator kapasitas 10 kVA beserta rumah genset dan penampung air kapasitas 5.000 liter yang dilengkapi dengan kran. (p/ab)