Sistem Budidaya Hortikultura Ramah Lingkungan Semakin Ngetrend di Kalangan Petani Milenial

By Admin


nusakini.com - Seiring perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat yang semakin dinamis, menuntut penyediaan bahan pangan yang aman dikonsumsi. Tak terkecuali dalam penyediaan produk hortikultura seperti sayuran dan buah-buahan yang makin dituntut berkualitas, fresh dan bebas residu pestisida kimia. Mau tak mau, sistem produksi hulunya juga dituntut berbenah dan menyesuaikan diri. Salah satunya dengan cara menerapkan teknik budidaya ramah lingkungan.

"Sebagai negara agraris beriklim tropis, pertanian Indonesia tak hanya harus mampu menghasilkan produk dengan jumlah yang mencukupi, namun juga harus berkualitas, sehat dan aman dikonsumsi. Sistem budidaya pertanian kita mau tidak mau harus menerapkan standar mutu dan keamanan pangan, tak hanya level nasional tapi berstandard global. Ini menjadi bagian penting dalam rangka mewujudkan target Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045," ujar Direktur Perlindungan Hortikultura, Sri Wijayanti Yusuf di sela _Focus Group Discussion_ (FGD) Perlindungan Hortikultura baru baru ini di Bogor. 

"Kedepan, trend budidaya ramah lingkungan lebih-lebih yang mampu menghasilkan produk organik, akan semakin meningkat. Kami di Direktorat Perlindungan Hortikultura Kementan sudah membaca dinamika perkembangan tersebut. Jangka pendek dan menengah ini, kami sudah rumuskan dalam skenario Grand Design Ditjen Hortikultura 2020-2024. Berbagai program kami luncurkan terutama untuk memfasilitasi segmen petani muda milenial agar sejak awal sudah menerapkan prinsip budidaya ramah lingkungan," kata Yanti. "Kita dorong para petani muda milenial mampu menjadi agen perubahan perbaikan sistem budidaya hortikultura. Sudah tidak zamannya lagi berbudidaya secara konvensional yang ngandelin pestisida kimia. Nggak banget deh," tandasnya.

Sistem budidaya ramah lingkungan saat ini sudah berkembang luas di sentra-sentra produksi buah dan sayuran di Indonesia. Salah satunya di Desa Tlogo Kecamatan Mirit Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Para petani muda dan milenial di wilayah tersebut dikenal aktif mendorong implementasi budidaya ramah lingkungan kepada seluruh petani binaan. Kepala laboratorium pengamatan hama dan penyakit tanaman (Lab PHP Temanggung), Retno Dyah, saat dihubungi menjelaskan saat ini setidaknya ada 5 Desa di Kecamatan Mirit Temanggung yang telah mengembangkan budidaya ramah lingkungan yaitu Desa Mirit, Klogo Depok, Mirit Petiguson, Sumber Jati, Wiro Marta. 

"Cakupan luasannya kurang lebih 20 Ha. Selama ini kelompok tani antusias dan responsif terhadap penggunaan bahan Agens Hayati. Kami bersama tim secara intensif melakukan pembinaan di wilayah ini. Alhamdulillah bisa berkembang dengan baik. Tanaman pembatas yang diketahui mampu menekan hama seperti refugia dan bunga matahari sudah banyak ditanam petani. Demikian pula penggunaan likat kuning serta trichoderma, sudah biasa dilakukan petanis disini," ungkap Retno.

Taat, Ketua Kelompok Tani Krajan sekaligus petani champion cabai Desa Tlogo Pragoro, Mirit Kebumen mengaku sangat antusias mengembangkan budidaya ramah lingkungan di daerahnya. "Sudah 2 tahun terakhir ini, kami bersama kelompok dan tiga desa binaan sangat konsen mengembangkan dan menggaungkan metode ramah lingkungan ini. Sambutan petani ternyata luar biasa. Yang penting ada yang mau memberi contoh dan ada bukti positifnya. Kami fokus di komoditas Cabai dan Pepaya California," ungkap Taat yang dikenal sebagai petani muda milenial itu. 

"Produksi Agensia Hayati yang telah kami produksi sendiri untuk kelompok kami diantaranya PGPR, Trichoderma, Pestisida Nabati, Beauveria, Pupuk Cair dan Bio Arang Sekam. Khusus untuk Bio Arang Sekam, alatnya kami produksi sendiri bersama kelompok dan alhamdulillah sudah bisa di operasionalkan oleh kelompok. Kami juga sudah mengaplikasikan teknik irigasi sprinkler dan selang infus," ungkapnya bangga. 

Taat menambahkan bahwa dengan menerapkan sistem budidaya ramah lingkungan dan pengaturan pola tanam, banyak manfaat yang diperoleh. "Produk cabai dan pepaya kami makin banyak diburu pedagang maupun konsumen. Permintaan terus meningkat. Hasil panen ternyata juga bisa lebih optimal kualitas maupun jumlahnya. Biaya impas produksi cabai di Wilayah Mirit Kebumen yang semula 12 sampai 13 ribu rupiah per kilo, setelah kami mengaplikasikan penggunaan agens hayati bisa ditekan menjadi 10 ribu rupiah," tukas Taat senang. (pr/eg)