Sekjen Kemenag Sebut Munajat dan Doa Sebagai Senjata Founding Father

By Admin


nusakini.com-Jakarta-Sekjen Kemenag M Nur Kholis Setiawan mewakili Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada Munajat Nusantara yang digelar Padepokan Dakwah Sunan Kalijaga (PADASUKA) di Masjid Istiqlal.  

Menyampaikan sambutan Menag, M Nur Kholis mengatakan bahwa para founding father selalu menggunakan munajat dan doa sebagai senjata. 

“Jika kita tengok sejarah perjalanan bangsa ini, maka akan kita temukan data bahwa para founding father kita selalu menggunakan munajat dan doa sebagai senjata,” kata Sekjen M Nur Kholis Setiawan di Masjid Istiqlal .Jakarta, Minggu (20/01). 

Disampaikan M Nur Kholis Setiawan bahwa tidak berlebihan jika dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah berkat rahmat Allah SWT. Artinya, kemerdekaan tidak cukup diraih dengan kekuatan otot dan ketajaman otak, tapi juga membutuhkan kebersihan hati. Dan kebersihan hati hanya dapat diperoleh saat hamba rajin membersihkannya dengan doa dan munajat kepada-Nya. 

Banyak kisah menceritakan, lanjut M Nur Kholis, seperti halnya kisah heroik para pendahulu membuktikan hal itu. Misalnya, Laksamana Malahayati, merupakan contoh Srikandi sejati Indonesia dari Aceh. Ia adalah sosok pejuang tak kenal kata menyerah. Selain pengetahuan dan kemampuan bela diri, beliau adalah seorang ulama perempuan yang sangat mencintai bangsanya. 

"Ia menggalang pasukan yang terdiri dari para janda korban perang. Pasukannya diberi nama Inong Balee (Janda Para Syahid) yang berjumlah 2000 personil,” kata M Nur Kholis. 

Membaca sejarahnya, disampaikan M Nur Kholis Setiawan, pada tanggal 11 September 1599, pasukannya bertempur di lautan Aceh melawan pasukan Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Houtman adalah orang pertama Belanda yang mampu menaklukkan Batavia. Tapi prestasinya itu dihabisi oleh Malahayati. Panglima angkatan perang Belanda yang terkenal itu akhirnya terkapar di ujung pedang Malahayati pada 11 September 1599 tanpa sempat minta ampun, setelah berduet satu lawan satu di atas geladak kapal perang Belanda. Kemenangan itu tentu hasil dari jerih payah dan doa serta munajat seorang pejuang Laksamana Malahayati. 

Kyai Subkhi Parakan, pejuang dari tanah Jawa, Temanggung, dengan bermunajat dan berdoa kepada Allah, beliau berhasil memberi semangat kepada para tentara Hizbullah dan TKR untuk bertempur melawan Belanda, hanya dengan senjata bambu runcing. 

Bahkan, lanjut M Nur Kholis, Kyai Saifuddin Zuhri (ayah Menag Lukman Hakim Saifuddin) yang tertuang dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001), menuliskan bahwa sebelum berangkat ke medan pertempuran saat melawan tentara sekutu yang menyerbu kota Surabaya, sambil berbaris dengan bambu runcingnya masing-masing, tentara Hizbullah dan TKR meminta keberkahan doa Kiai Subkhi. Setelah memperoleh doa dari Kiai Subkhi, tentara TKR dan Hizbullah langsung bergerak dengan kebulatan hati tak tergoyahkan menuju pertempuran melawan penjajah. 

Bahkan Bung Karno, lanjut M Nur Kholis, menyadari begitu besarnya anugerah Allah pada proses pencapaian kemerdekaan. Bung Karno selalu menekankan pentingnya bermunajat untuk menjalankan sesuatu yang besar. Saat didesak para pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan menyusul penyerahan Jepang pada Sekutu, Bung Karno menolak. Bung Karno bersikukuh bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah untuk satu atau dua hari melainkan untuk selama-lamanya. Maka proklamasi harus dilakukan pada hari yang baik. 

“Itulah hasil bermunajatnya pada Allah, laku ritualnya, hasil doanya secara khusuk dan penuh tawadhu,” kata M Nur Kholis. 

Selain itu, dalam penuturannya pada Cindy Adams, Bung Karno menuturkan, “…Tujuh belas adalah angka yang suci. Tujuh belas adalah angka keramat. Pertama-tama, kita sedang berada di bulan suci Ramadhan…Hari Jumat ini Jumat Legi. Jumat yang manis. Jumat suci. Dan hari Jumat tanggal 17. Al-Quran diturunkan tanggal 17. Orang Islam melakukan sembahyang 17 rakaat, bukan 10 atau 20? Karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia. Ketika aku pertama kali mendengar berita penyerahan Jepang, aku berpikir kita harus segera memproklamasikan kemerdekaan. Kemudian aku menyadari, adalah takdir Tuhan bahwa peristiwa ini akan jatuh di hari keramat-Nya (Yudi Latif, 2017: 32). 

“Mari kita semua doakan bangsa kita, Indonesia, agar menjadi bangsa yang aman, tenteram, damai dan bersatu hingga akhir zaman. Mari kita doakan agar persaudaraan; ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah basyariyah kita tetap dijaga. Mari kita berdoa agar bangsa ini tidak terjebak dalam permusuhan, saling caci maki jelang pesta demokrasi pada bulan April 2019 mendatang,” tutup M Nur Kholis.(p/ab)