Reformasi Perpajakan Harus Antisipatif Bukan Reaktif

By Abdi Satria


nusakini.com-Jakarta- Pemerintah Indonesia terus-menerus melakukan reformasi perpajakan sejak tahun 1983. Pada masa lalu, reformasi perpajakan biasanya dilakukan karena dipicu oleh terjadinya krisis ekonomi.  

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mencontohkan, periode awal Indonesia merdeka sampai sekitar tahun 1983, peraturan perpajakan Indonesia masih didominasi oleh peraturan warisan kolonial. Sejak tahun 1983, Pemerintah mulai melakukan perbaharuan/modernisasi perpajakan yang dipicu oleh krisis penerimaan negara yang berasal dari minyak dan gas (migas) beralih untuk mencari pendapatan yang lebih bersifat tetap dan tidak tergantung dari pendapatan komoditas migas yang terbatas (non-renewable). 

Tahap kedua reformasi perpajakan dilakukan setelah Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997-1998 yang melahirkan beberapa reformasi perpajakan misalnya dibentuknya Large Tax Office, Middle Tax Office dan Kantor Pajak Pratama (KPP). 

Namun demikian, saat ini jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan seluruh stakeholders terkait bekerjasama, bersinergi untuk lebih mampu mengidentifikasi, mengantisipasi dan mengelola perubahan baik di dalam maupun luar negeri. Misalnya, perubahan kondisi ekonomi global yang berbasis teknologi digital yang berubah sangat cepat telah diantisipasi dan dikelola dengan cepat antara lain melalui reformasi perpajakan yang antisipatif. 

Hal ini disampaikan Menkeu Sri Mulyani Indrawati pada acara ramah tamah peringatan Hari Pajak 14 Juli Tahun 2019 di auditorium Chakti Budhi Bhakti (CBB) Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Senin (15/07). 

“Munculnya era digital yang merupakan sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Bahkan sekarang sudah mendikte arah maupun jenis, dan bentuk dari kegiatan ekonomi. Maka kami minggu ini meluncurkan dua Direktorat baru (Direktorat Data dan Informasi Perpajakan dan Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi) yang menangani data dan informasi. Economy dan economic activities dapat ter-record secara jauh lebih reliable berdasarkan sistem teknologi informasi memungkinkan kami (menghubungkan) DJP dengan beberapa BUMN sudah computer to computer mendapatkan arus informasi secara reguler mengurangi intervensi manusia, mengurangi kemungkinan hal yang tidak baik (fraud),” tambahnya. Menkeu berharap, ke depan sistem computer to computer dapat terjalin antara DJP dan pembayar pajak besar. 

Bentuk optimalisasi penerimaan pajak lainnya berbasis teknologi dan sinergi antar negara adalah diterapkannya kerjasama pertukaran informasi perpajakan otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEOI) dan pelaksanaan prinsip penghindaran Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) secara menyeluruh dan efektif. 

Senada dengan pernyataan Menkeu, Wakil Presiden Indonesia ke XI yang juga merupakan mantan Menkeu periode 2001-2004, Boediono, menegaskan perlunya Indonesia belajar dari sejarah reformasi sehingga diharapkan tidak sampai terlena ketika kondisi ekonomi membaik namun harus dapat berpikir antisipatif terhadap kemungkinan perubahan kondisi global yang dapat mempengaruhi fundamental perekonomian Indonesia.  

“Jangan tunggu sampai terjadi krisis kita baru sibuk-sibuk mencari solusinya,” pungkas Boediono. (p/ab)