Produktivitas Beras Indonesia Lebih Tinggi dari Thailand

By Admin

Foto/ilustrasi  

nusakini.com - Menanggapi pemberitaan "Ironi di Negeri Kaya Beras" di Bisnis Indonesia (19/7), Kementerian Pertanian menyebutkan Indonesia memiliki produktivitas beras yang lebih tinggi dibandingkan Thailand. “Saat ini, rata-rata produksi padi Indonesia telah mencapai 5,5 ton per hektare, sedangkan Thailand masih di sekitar 3-4 ton per hektare”, hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Hari Priyono.

Harga beras di Indonesia juga masih lebih murah dibandingkan dengan negara Singapura, Thailand dan Malaysia. "Petani padi akan menikmati marjin apabila harga yang diterima memadai. Jika dibilang harga beras Indonesia termahal dibanding negara lain, itu tidak benar," ungkap Hari Priyono.

Berdasarkan sumber dari numbeo.com yang merupakan sebuah situs data base online, harga beras Indonesia berada di urutan 102 sebesar USD 0,90/kg dari 115 negara, sehingga harga beras Indonesia jauh lebih rendah dari Thailand yang berada diurutan ke 83 sebesar USD 1,11/kg, Singapura yang berada di urutan 31 sebesar USD 1,88/kg dan Malaysia berada di urutan 95 sebesar USD 0,99/kg. Sebagai pembanding adalah data Bloomberg tanggal 11 Juni 2017, disebutkan bahwa harga beras rata-rata internasional Rp 11.830/kg setara USD 0,89/kg (kurs Rp 13.290/USD)

Hari melanjutkan, tahun ini harga gabah maupun harga beras berada di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP), yaitu Rp 3.700 per kilogram gabah kering panen dan Rp 7.300 per kilogram beras. Rata-rata harga beras Juni 2017 sebesar Rp 10.597 per kilogram. "Sejak Januari hingga Juni 2017 harga beras terkendali dan petani masih dapat menikmati marjin yaitu Rp 65,7 triliun setahun," ungkapnya.

Pernyataan yang menyebutkan bahwa harga beras di tingkat petani sebaiknya tidak melebihi Rp 4.000 per kilogram, justru dinilai dapat merugikan petani. Jika biaya produksi petani di Indonesia rata-rata 7 – 8 juta rupiah per hektare, maka dengan harga beras di tingkat petani sebesar Rp 4.000 per kilogram, berarti setiap petani hanya memiliki keuntungan 4 juta rupiah setiap kali panen atau 1 juta rupiah per bulan. “Bila pemerintah menetapkan harga pokok pembelian beras di tingkat petani sebesar Rp 4.000, petani dipastikan merugi”, ucap Hari.

Data BPS memang menyebutkan bahwa beras adalah penyumbang kemiskinan, sebesar 20,11 persen di perkotaan dan 26,46 persen di pedesaan. Tapi data yang dimiliki oleh Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) mencatat bahwa kemiskinan di perdesaan turun sebanyak 181,29 ribu orang yaitu 17,28 juta orang pada September 2016 menjadi 17,10 juta orang pada Maret 2017.

Ketua Umum KTNA Winarno Tohir dalam pernyataannya beberapa waktu lalu menyebutkan Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Petani (NTUP) tahun 2017 juga cenderung naik. "Bulan Juni 2017 NTP sebesar 100,53. naik dibanding Mei 2017 yang sebesar 100,15. Sedangkan NTUP naik dari 109,15 pada Mei menjadi 109,59 pada Juni 2017", jelasnya.

Untuk tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk di pedesaan yang diukur Gini Ratio pada Maret 2017 sebesar 0,320, turun dibanding Maret 2016 sebesar 0,327. Bila dilihat distribusi pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah di perdesaan angkanya 20,36 persen berarti termasuk kategori ketimpangan rendah.

Sementara BPS dalam rilisnya menyatakan upah nominal harian buruh tani nasional Juni 2017 Rp 49.912 perhari naik sebesar 0,26 persen dibanding upah buruh tani Mei 2017 Rp 49.782 per hari.

“Data dan informasi tentang angka kemiskinan di desa, gini rasio yang membaik dan upah buruh tani meningkat ini merupakan informasi bagus dan menunjukkan satu indikator petani lebih sejahtera”, ujar Winarno. (p/mr)