Prioritas Minyak untuk Dalam Negeri, Wamen ESDM: Minat Investor Tak Terganggu, Negara Lain Lebih Ketat

By Admin


nusakini.com-Jakarta-Pemerintah telah mengeluarkan aturan yang mewajibkan seluruh kontraktor hulu minyak dan gas bumi (migas dalam negeri) untuk menawarkan produksinya ke PT Pertamina sebelum diekspor. Aturan ini diperlukan dalam rangka mengatur prioritas pemanfaatan hasil produksi migas untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor. 

Beleid yang mengatur kewajiban bagi kontraktor menawarkan minyak ke PT Pertamina ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri. 

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menepis anggapan bahwa dengan diberlakukannya aturan ini akan mengurangi minat investor untuk berinvestasi di sektor hulu migas. 

"Pemerintah tidak khawatir ini mengganggu minat investor di hulu migas. Coba lihat di negera lain, Malaysia, berdasarkan study kita, ini dicek, apakah Malaysia itu kontraktornya menjual ke dalam negeri yang bagian kontraktor itu? Iya," ungkap Arcandra di Kantor Kementerian ESDM, belum lama ini.

Menurut Arcandra, aturan di negara lain lebih ketat, kontraktor migas jika ingin mengekspor produksi migasnya ke luar, mereka dibebankan bea keluar dengan persentase yang cukup tinggi. Tak hanya di Malaysia, Vietnam pun juga menerapkan bea keluar ini. "Kalau di negara lain, diekspor kena bea keluar, kalau ngga salah tolong dicek, (Malaysia) 10%, Vietnam 10%, nah di kita ini ngga ada, kita dibebaskan (bea keluarnya)," ungkapnya. 

Lebih lanjut Arcandra mengatakan bahwa kebijakan ini tidak bertentangan dengan aturan dalam kontrak bagi hasil migas antara kontraktor dan pemerintah, dan respon dari kontraktor juga positif. 

Dirinya mengatakan sudah bertemu dan membahas langsung dengan 10 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dengan hasil migas terbesar mengenai rencana penjualan minyak ke Pertamina. Dalam pertemuan yang digelar pekan lalu itu, disimpulkan bahwa tidak ada pelanggaran kontrak dari kebijakan ini. 

Selain itu, melalui kebijakan ini, menurut Arcandra, pemerintah dalam hal ini Pertamina bisa melakukan penghematan dari sisi biaya angkut jika dibandingkan dengan melakukan impor minyak. Besaran penghematannya tergantung dari kesepakatan harga antara Pertamina dan kontraktor, karena merupakan ranah B to B (business to business). 

"Ada efisiensinya dari sisi biaya transport, kalau diimpor misalnya, dari Afrika, biayanya bisa mencapai 4-5 dolar per barrel, untuk sampai di Indonesia," pungkas Arcandra.(p/ab)