Peringati HCPSN, KLHK Gelar Obrolan Konservasi Medis Satwa Liar

By Ahmad Rajendra


Nusakini.com--Jakarta-Perlindungan kesejahteraan satwa perlu dilakukan melalui upaya advokasi dan edukasi yang lebih gencar. Hal ini lantaran kecenderungan meningkatnya pecinta satwa, baik pribadi maupun yang tergabung dalam komunitas, perlu dibarengi dengan kesadaran semua lapisan masyarakat akan kesejahteraan satwa. 

Dilansir siaran pers Humas KLHK, Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Djati Witjaksono Hadi, yang mewakili Sekjen saat membuka secara resmi acara Diskusi Pojok Iklim mengutarakan, bahwa Peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN) 2019, yang diperingati setiap tahun pada tanggal 5 November, menjadi momentum untuk menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat akan pentingnya puspa dan satwa sehingga dapat meningkatkan kepedulian, upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatannya secara berkelanjutan untuk kehidupan manusia.

Diskusi tersebut mengusung topik "Ngobrol Konservasi (Ngoser): Medis Konservasi Satwa Liar", dalam rangka Peringatan HCPSN 2019, di Jakarta, Selasa 5 Nopember 2019.

Acara Ngoser ini dimoderatori oleh Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta, Ahmad Munawir, dengan menghadirkan narasumber Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) drh. Indra Exploitasia, Ketua Umum Asosiasi Dokter Hewan Satwa Liar, Aquatik, dan Hewan Eksotik Indonesia (ASLIQEWAN) drh. Huda Shalahudin, National Technical Advisor FAO ECTAD Indonesia drh. Achmad Gozali, dan Praktisi Mind Power drh. Rajanti Fitriani.

Terdapat 5 prinsip Animal welfare atau biasa disebut kesejahteraan satwa yang harus dipenuhi dalam pemeliharaan dan pemanfaatan hewan. Kelima prinsip kesejahteraan satwa (five freedoms) yaitu bebas dari rasa haus dan lapar; bebas dari rasa tidak nyaman; bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit; bebas dari mengekspresikan perilaku alaminya; serta bebas dari stress dan tekanan.

Pada acara tersebut Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Indra Exploitasia, menekankan, Prinsip inilah yang harus dimiliki setiap binatang yang ada di muka bumi ini. Kesejahteraannya harus diperhatikan dan dikedepankan. Mereka juga terjamin untuk dapat berkembang biak dan bereproduksi. Secara alami pun bisa lestari, sehingga tidak terjadi kepunahan.

Secara umum, Medis Konservasi Satwa Liar terbagi dua, yaitu medis konservasi insitu dan medis konservasi eksitu. Di konservasi insitu, atau di habitat alaminya, berbagai kegiatan yang dilakukan pada prinsipnya interaksi yang terbatas, misalnya saat rescue (penyelamatan), pelepasliaran, dan pengamatan satwa.

"Sekecil mungkin tidak ada interaksi manusianya. Itu prinsip dasar dari medis ketika kita bekerja di insitu. Jadi lebih pada pemantauan jarak jauh, kajian epidemiologi atau asal usul sebaran penyakit. Sedangkan konservasi di eksitu, misalnya di lembaga konservasi, peran medisnya lebih banyak," tutur Indra.

Sementara itu, Ketua Umum ASLIQEWAN, drh. Huda Shalahudin, mengatakan bahwa medis konservasi tidak hanya dapat dilakukan oleh dokter hewan, dan perlu didukung oleh keilmuan lain.

"Saat ini tuntutan terhadap profesi dokter hewan cukup tinggi. Sementara, kami tidak hanya masih kurang dari jumlah, melainkan kualitas. Oleh karena itu, kami terus memperkaya diri baik dari aspek keilmuan maupun aspek legal," kata drh. Huda.

Lebih jauh dituturkan drh. Huda, Sekarang ini, di Indonesia juga tengah dikembangkan apa yang disebut One Health. Konsep One Health merupakan kalaborasi multi disiplin dan multi sektoral dalam mengantisipasi dan menangani penyakit pandemi. One Health menekankan penyakit zoonosis yang ditularkan dari hasil interaksi manusia dan hewan agar dapat diantisipasi secara intensif.

"Dunia saat ini sedang mengupayakan bagaimana kesehatan hewan, kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan terbalut secara sistematis dengan pendekatan One Health," imbuhnya.

"Ini untuk menanggulangi isu zoonosis atau penyebaran penyakit dari hewan ke manusia, begitu pun sebaliknya. Prinsip utamanya yaitu komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi," terang drh. Achmad Gozali, National Technical Advisor FAO ECTAD Indonesia.

Untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya dibutuhkan "komunikasi" yang baik antara manusia dengan satwa. Terkait hal ini, drh. Rajanti Fitriani, mengembangkan metode Mind Power, yaitu teknik menggali informasi melalui pikiran bawah sadar, yang bisa diterapkan pada satwa.

"Teknik ini dilakukan dengan cara masuk ke gelombang alfa. Semakin rileks, maka informasi yang didapat lebih banyak. Dari situ kita bisa tahu, misalnya satwa pun ingin diperlakukan dengan baik, misalnya dengan menggunakan kata "tolong" saat meminta satwa melakukan sesuatu," jelas drh. Rajanti.

Acara Ngoser dihadiri oleh lebih dari 100 orang yang terdiri dokter hewan, pegiat konservasi satwa, lembaga konservasi, dosen dan mahasiswa ilmu Biologi dan Kehutanan dari berbagai Universitas.(R/Rajendra)