Peneliti UGM: Ingin Lepas dari Ketergantungan Impor Tembakau, Luas Lahan Harus Ditambah

By Admin


nusakini.com - Peneliti dari Fakultas Pertanian UGM, Slamet Hartono, dalam paparan hasil penelitian di UC UGM, Sleman, Rabu (10/8/2016) mengatakan, dalam enam tahun terakhir, hasil produksi tembakau Indonesia berfluktuasi dengan rata-rata produksi sekitar 170.000 ton per tahun. Penurunan lahan untuk tanaman tembakau sebesar 28% dari tahun 2012 ke tahun 2015.

Slamet mengatakan, angka tersebut berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan ada penurunan luas tanaman tembakau. 

Penurunan itu disebabkan adanya alih fungsi lahan untuk komoditas lain, utamanya adalah untuk tanaman pangan, dan ada beberapa lahan yang menjadi lahan perumahan. 

“Temuan lain dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa saat ini hanya Nusa Tenggara Barat [NTB] yang konsisten menghasilkan produksi tembakau rata-rata satu ton per hektare,” ungkapnya. 

Ia menyebutkan, beberapa faktor yang menyebabkan produktivitas tembakau Indonesia masih rendah antara lain: budidaya tembakau yang masih sangat tradisional dan juga adanya perubahan cuaca yang ekstrim. Hal ini diperburuk dengan adanya sentimen negatif terhadap petani tembakau dari kelompok-kelompok tertentu. 

Kemudian dari sisi tata niaga tembakau, Peneliti dari Magister Ekonomika Pembangunan Universitas Gadjah Mada Wahyu Widayat menyatakan, Indonesia merupakan satu negara pengimpor daun tembakau karena masih kurangnya pasokan tembakau bagi industri rokok dalam negeri. 

“Pada 2014 nilai ekspor tembakau Indonesia mencapai sebesar US$ 1.023 juta dan nilai impornya sebesar US$ 671 juta. 

Mayoritas impor adalah bahan baku atau daun tembakau, sedangkan mayoritas ekspor adalah barang jadi,” ujar dia. 

“Saat ini, luas lahan tembakau adalah 192.525 Ha. Untuk mengurangi ketergantungan pada tembakau impor maka luas lahan harus bertambah sebesar 128.975 Ha atau 40,12 persen,” kata dia. 

Ia mengatakan, diperlukan sekitar 12 tahun untuk mencapai target tersebut, jika pemerintah berupaya untuk menambah lahan tembakau seluas 10.000 hektar per tahun. 

Selain itu, tata niaga tembakau Indonesia juga terbilang cukup kompleks dengan melibatkan banyak perantara (middle man), sehingga keuntungan petani tembakau tergerus. Oleh karena itu, perlu ada kemitraan antara petani dan pemasok serta pabrikan produk tembakau. Tujuannya untuk memotong rantai distribusi. (Ifm/mk)