Peneliti Kemenag Kembali Persoalkan Badan Riset Nasional

By Abdi Satria


nusakini.com-Bekasi-Rencana lahirnya Badan Riset Nasional (BRN) atau Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) masih memicu pro-kontra. Isu yang dalam setahun ini ramai dibicarakan dan didiskusikan kembali disoal oleh para peneliti Balitbang Diklat Kemenag. Pertanyaan yang muncul mulai dari bentuk lembaganya, mekanisme kerjanya, serta bagaimana nasib unit-unit penelitian pada kementerian dan lembaga. 

Persoalan tersebut mengemuka dalam sesi ketiga Temu Peneliti Balitbang Diklat Kemenag yang dihelat di Cibubur, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (22/08). Hadir sebagai narasumber, Sekretaris Ditjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristek Dikti Ir Prakoso dan Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) M Zain. 

“Setelah BRIN nanti jadi, apakah kami para peneliti agama ini masih mendapat porsi riset di lembaga baru tersebut. Seperti apa kira-kira peran tersebut,” kata salah satu peneliti Puslitbang Bimas Agama dan Keagamaan M Adlin Sila mengawali sesi tanya jawab. 

Menurutnya, persoalan keagamaan mestinya tetap diberi peran siginfikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, agama dan negara tidak bisa dipisahkan dari bangsa yang relijius ini. “Jika dalam rumpun yang disebut dalam klaster sosial humaniora itu, peneliti Litbang Kemenag berperan dalam aspek apa selain baca doa?” selorohnya. 

Adlin menambahkan, persoalan radikalisme dan ekstrimisme tentu Litbang Kemenag yang bisa berkontribusi. Ini problem yang sangat penting dan harus segera dicari solusinya. “Persoalannya karena ini intangible, tidak tangible seperti infrastruktur,” tandas doktor lulusan Australia ini.  

Senada dengan Adlin, peneliti senior Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Faiqoh Mansyur juga mempertanyakan masa depan peneliti agama. Peleburan lembaga riset dari sejumlah kementerian harus dipertimbangkan matang. Hal ini demi masa depan dunia peneliti dan kepenelitian.  

“Mengapa ada anggapan bahwa negara ini salah urus. Salah satu penyebabnya antara lain karena kebijakan negara tidak berbasis riset. Padahal presiden meminta kepada seluruh koor-nya agar menggunakan kebijakan berbasis riset,” ujar Faiqoh. 

Ia berharap, BRIN nantinya menghargai hasil karya anak bangsa. Sebab, jika kebijakan tidak berbasis riset akan melahirkan malapetaka. “Saya menggarisbawahi yang disampaikan Pak Zain tadi bahwa inisiator BRIN ini datangnya dari DPR. Namanya DPR tidak ada yang tidak dipolitisasi. Salah satunya adalah politisasi di bidang anggaran,” ujar Faiqoh bersemangat. 

Sayang, selaku narasumber, Sesditjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristek Dikti, Prakoso, memilih berseloroh dan tidak merespon pertanyaan maupun pertanyaan Faiqoh. "Pertanyaan Bu Faiqoh ini kelasnya presiden yang jawab," ujarnya seraya tertawa.  

Sementara itu, penanggung jawab perhelatan Temu Peneliti yang juga Kepala Puslitbang LKKMO Muhammad Zain mengatakan, acara ini merupakan media untuk mendengarkan suara peneliti. Temu peneliti menjadi arena sambung rasa bagi para peneliti di lingkungan Balitbang Diklat Kemenag. 

“Soal gagasan BRIN ini, yang penting adalah soal nasib peneliti apakah bergeser dari ‘nasib tak tentu’ ke ‘nasib tambah baik’ atau sebaliknya, dari nasib tambah baik ke nasib tak tentu,” ujar Zain berkelakar. 

Sebagai diketahui, argumen yang mendasari gagasan BRIN ini antara lain: penguatan lembaga riset; lebih memfokuskan tema-tema riset untuk menjawab aneka persoalan bangsa; pembinaan SDM peneliti yang lebih kompetitif dan kolaboratif; efisiensi dan skema pembiayaan riset; kebermanfaatan hasil-hasil riset untuk penemuan teori-teori keilmuan, dukungan penguatan korporasi dan dunia industri, serta pemangku kepentingan. 

Temu Peneliti yang dihadiri 167 peneliti dari tiga Puslitbang dan tiga Balai Litbang Agama ini dijadwalkan selama tiga hari, Rabu-Jumat, 21-23 Agustus 2019. Gelaran rutin tiap tahun ini dihelat di Hotel Ciputra Cibubur, Jatikarya, Kec. Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat. (p/ab)