Pemerintah Perlu Pertimbangkan Kepentingan Produsen dalam Intervensi Pasar

By Admin

nusakini.com--Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani menilai kebijakan yang berorientasi pada konsumen sudah menjadi perwujudan peran pemerintah. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan melakukan intervensi pasar. Namun, langkah intervensi tersebut jangan sampai mengabaikan kepentingan produsen dan pelaku usaha. 

"Secara umum, dunia usaha menilai pemerintah berada di jalur yang belum mengganggu iklim usaha. Walaupun begitu, diharapkan upaya intervensi pasar perlu dirundingkan dengan seluruh pihak, termasuk para pengusaha," tandas Shinta Kamdani sebagaimana dilansir Harian KONTAN, Selasa (10/7). 

Shinta menyebutkan tiga contoh terkait langkah intervensi pemerintah, yakni kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) sejumlah komoditas pangan strategis, penggunaan bahan bakar minyak (BBM), kebijakan domestic market obligation (DMO). 

Dia menjelaskan, langkah pemerintah mengintervensi pasar selalu memiliki dua dimensi. Dari sisi konsumen, langkah tersebut bisa dipandang sebagai upaya untuk melindungi kepentingan konsumen. Di sisi lain, ada kepentingan produsen yang perlu dipertimbangkan. Dalam konteks HET misalnya, ada kepentingan petani dan pengusaha yang tidak bisa diabaikan. 

"Hal ini dilakukan agar jangan sampai HET justri berimplikasi negatif terhadap kelangsungan bisnis dan produksi bahan pangan tersebut," ulas Shinta. 

Terkait HET, pemerintah sebenarnya perlu menelusuri lebih dalam efeknya. Terlalu fokus pada dampak terakhir, yakni harga yang tinggi akan menyebabkan pengambilan kebijakan yang keliru. Pemerintah seharusnya lebih fokus pada perbaikan tata niaga komoditas. Dengan demikian level harga yang lebih wajar akan tercapai.

Terkait harga BBM, intervensi yang dilakukan pemerintah berupa penyesuaian (kenaikan) harga BBM dinilai tepat. Tanpa intervensi pemerintah, dikhawatirkan dunia usaha akan melakukan penyesuaian harga produk yang akan berdampak pada konsumen secara umum. 

Hal lain adalah terkait DMO batubara. Intervensi terhadap DMO batubara di satu sisi bisa membantu risiko kenaikan biaya logistik dan listrik. Namun, perlu pula dicermati hal ini dapat memberikan risiko terhadap defisit neraca perdagangan karena Mei lalu impor migas merupakan komponen impor terbesar. (p/ab)