Orasi Budaya, Menag Sampaikan Hubungan Ilmu dan Secangkir Kopi

By Admin


nusakini.com-Krapyak-Orang sering mengkaitkan secangkir kopi dengan usaha mengusir rasa kantuk di pelupuk mata. Alih-alih soal kantuk, Menag Lukman Hakim Saifuddin justru mengkaitkan kopi dengan kedalaman ilmu.  

Hal itu disampaikan Menag saat menyampaikan orasi budaya pada Malam Kebudayaan Pesantren. Acara yang menjadi rangkaian peringatan Hari Santri Nasional 2018 ini digelar di Panggung Krapyak, Yogyakarta.  

Hadir dalam kesempatan ini, Habiburrahman el-Syirazi, Chandra Malik, Gus Hilmy Muhammad, Inayah Wahid, Sosiawan Leak, dan sejumlah seniman Yogyakarta. Para santri juga memadati halaman Panggung Krapyak.  

Malam Kebudayaan Pesantren diawali dengan performance Shalawatan Emprak Jawi Pesantren Kali Opak. Menag dapat giliran berikutnya untuk menyampaikan orasi.  

"Dalam pergaulan santri, kedalaman ilmu dan kebijaksanaan diri seringkali digambarkan dengan secangkir kopi," tutur Menag diikuti tepuk riuh santri yang hadir, Krapyak, Rabu (10/10). Kaki-kaki mereka tentu kuat, karena istiqamah berdiri di tempat disebabkan sudah tidak ada ruang duduk yang tersedia. 

"Santri yang malas dan tidak produktif dianggap kurang ngopi. Santri yang emosional dan gampang dibohongi, pertanda ngopinya kurang pahit. Santri yang kuper dan kudet, berarti ngopinya kurang jauh. Santri yang suka ngeyel dan menyalahkan orang lain, itu tandanya belum pernah menyeduh kopi," pekik Menag. Sering kali terdengar gelak tawa santri di setiap bagian kalimat yang diselesaikan Menag.  

"Adapun santri yang mementingkan diri sendiri, itu jelas sukanya kopi gratisan. Tapi kalau ada santri jam segini tak kunjung ngopi, itu mungkin belum dapat rejeki," lanjutnya.  

Kalau begitu orasinya, lantas mana hubungan kapi dengan kedalaman ilmu? Sabar... Orasi Menag ternyata cukup panjang.  

Mengurai relasi rumit ini, Menag mengawali dengan kisah ulama pesantren asal Kediri, Syekh Ihsan Jampes. Dia mengarang kitab berjudul Irsyadul Ikhwan fi Bayaani Qahwah wad Dukhan (Petunjuk Umum untuk Kopi dan Rokok).  

"Disebutkan, kopi adalah minuman para ulama karena bisa meningkatkan konsentrasi dan mempertajam intuisi. Diulas pula perdebatan fikih tentang hukum menyeruput kopi. Maklum, kopi sudah terlalu jauh masuk ke wilayah pesantren. Sampai ada adagium bahwa penggerak utama pesantren itu sesungguhnya terdiri dari: kiai, santri, ngaji, dan kopi," tuturnya. 

Sudah nampak hubungan kopi dan ilmu? Belum... Memang belum. Karena orasi Menag juga masih berlanjut.  

Kata Menag, "Di sini saya tak hendak mengajak Anda semua untuk ngopi. Tapi saya justru ingin mengingatkan, pesantren bukanlah warung kopi. Pesantren adalah tempat menuntut ilmu dan menimba pengalaman. Tempat untuk menyadari bahwa menjalani hidup itu ibarat menikmati kopi; ada pahit-pahit manis yang bikin melek hati."  

"Sebagai majelis pengetahuan, kopi pun jadi bahasan ulama dalam karya tulisnya. Ini artinya, ilmunya para kiai tidak sebatas perkara shalat sampai haji, tak cuma soal membasuh muka sampai menata hati, tapi juga urusan menyeruput kopi," demikian Menag menggarisbawahi.   

Menurutnya, kisah ini menunjukan betapa kuat budaya literasi kaum santri sampai sempat-sempatnya menulis tentang kopi.  

Sebagai benang merah, Menag mengingatkan para santri bahwa literasi adalah tradisi asli para ulama. Kaum santri mengenal ulama besar seperti para imam madzhab, Al Ghazali, dan lain-lain lantaran karya-karya tulisnya. Ulama Nusantara semisal Syekh Nawawi Al Bantani dan Syekh Yasin Al Fadani juga demikian, dikenal karena karyanya.  

Pada generasi-generasi berikutnya, santri pun mengenal Tafsir Ibriz karya KH Bisri Mustofa sampai buku Fikih Sosial karangan KH Sahal Mahfud, dan seterusnya. "Di masa kini, saya menunggu karya tulis Anda para santri sekalian," tandas Menag menutup bagian orasi tentang ilmu dan kopi.(p/ab)