Oleh: Makmur Gazali

KUALITAS hidup seseorang senantiasa ditandai dengan kemampuan orang tersebut, tidak saja membuat dirinya sukses. Lebih dari itu, dia mampu membuat orang lain sukses. 

Banyak orang bisa menjadikan dirinya ‘orang besar’ -walau mungkin dengan jalan menghancurkan, menelikung orang lain atau pesaingnya. Namun hanya sedikit orang dengan kualitas pribadinya, mampu meletakkan diri sebagai sahabat, mentor pembimbing dan mitra secara bersamaan dalam membesarkan nama orang lain. 

Kualitas pribadi seperti inilah yang menonjol pada sosok Sukriansyah S. Latief. Lahir di Makassar, 30 Agustus 1969, pria yang sangat low profile karib disapa UQ ini memang menjadi jaminan mutu dalam membangun komunikasi jejaring individu maupun sosial sekaligus meletakkan basis kebersamaan untuk sebuah tujuan kemaslahan bersama. Tidak hanya berhenti di situ, sosok UQ juga demikian piawai dalam mengordinasi, membangun strategi kerja tanpa orang lain merasa diarahkan atau diperintah. 

Salah satu yang sangat unik dalam talenta pribadi seorang UQ yang sangat jarang dimiliki tokoh lain adalah kepiawaiannya dalam memambangun visi, megindentifikasi sebuah persolaan sekaligus merumuskan tahapan-tahapan pemecahan masalah (problem solving). Lebih uniknya lagi, dalam proses tersebut, sosok UQ bahkan mampu turun langsung ke lapangan dan memberi teladan. 

Ramuan corak talenta pribadi inilah menjadikan sosok UQ dengan cepat melejit dalam setiap bidang profesi yang diamanahkan kepadanya. Diawali dengan karir sebagai jurnalis di Koran Fajar, menjadi korespondensi media bergensi seperti Majalah Tempo, korenpondensi Media Indonesia Minggu (MIM), Kepala Biro Majalah Forum Keadilan, hingga menjabat Staf Khusus Menteri Pertanian RI sekaligus menjadi Komisaris Pupuk Indonesia (sebuah perusahaan holding BUMN) yang membawahi BUMN-BUMN produsen pupuk yang sangat besar.

Di dunia pendidikan, sosok UQ juga merambah dengan menjadi dosen di Yayasan Pendidikan Fajar (Unifa) bahkan pernah tercatat sebagai dosen luar biasa Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin (Unhas). 

Dalam dunia jurnalistik, sosok UQ memang terlihat mencorong. Di koran harian Fajar, sosok UQ punya nama besar. Meniti pekerjaan mulai sebagai reporter Fajar sejak kuliah di Fakultas Hukum Unhas, karir UQ dengan cepat membumbung hingga menjabat Pimpinan Redaksi (Pimpred). Dalam pucuk manajemen Fajar, dia juga pernah tercatat sebagai Direktur Umum hingga Direktur PT Media Fajar Holding. 

Publik banyak mengenal UQ memang sebagai seorang pekerja keras, namun yang jarang diketahui adalah dibalik sosoknya yang gesit, cepat dan pandangannya yang menjangkau jauh ke depan, sosok UQ merupakan figur dengan kemampuan koordinasi serta pemberi motivasi yang sangat kuat. 

Corak kepemimpinannya sangat berorientasi transformatif dan membuka ruang seluas-luasnya pada orang lain untuk menumbuhkan kreatifitas. Menjadikan bawahannya bukan sebagai anak buah tetapi sebagai mitra kerja membuat suasana kerja yang terbangun demikian nyaman. Dalam diskusi dan rapat-rapat kerja, UQ lebih banyak mendengar. Memberi kesempatan bawahannya mengeluarkan ide-ide terbaiknya dan diakhir pertemuan dia menyelaraskan dan menyinkronisasi semua ide tersebut sebagai program kerja bersama. 

Inilah yang menjadikan potensi konflik di ranah kerja nyaris tak ada. Tak ada saling sikut dan saling menjatuhkan di sana. Semuanya menjadi guyub dalam kerja bersama. Kemampuannya mengeliminir potensi konflik dengan gaya khas seorang mitra kerja memang demikian melekat pada sosok UQ. Setiap ada pergeseran jabatan atau mutasi di lingkungan kerja yang dipimpinnya sama sekali tak menimbulkan rasa sakit hati. Karena pendekatan yang dilakukannya memang terasa nyaman bahkan mampu dengan cepat menggerakkan roda sinergi kerja yang kuat. 

Pengalamannya sebagai Direktur SDM Harian Fajar menjadikan sosok UQ dan saat ini menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Pertanian RI Bidang Kebijakan Publik, membuat UQ mampu menelisik jauh dan menyelaraskan antara potensi yang dimiliki seseorang dengan kebijakan kerja yang akan dituju. “Bila ingin membuat orang bekerja kenalilah potensi dan kecintaannya pada bidang tersebut dan selaraskan dengan model kebijakan yang dilandasi sikap ramah, santun sekaligus membangkitkan sense of belonging mereka. Niscaya kita akan menghasilkan kinerja yang dahsyat”, ujar UQ suatu ketika.

Kepemimpinan transformatif semacam ini memang sangat dibutuhkan di era perubahan adalah harga mati. Seorang pemimpin bukan lagi harus di depan memberi perintah yang kaku dan seenaknya mengambil putusan sendiri sehingga menimbulkan sakit hati bawahannya. Juga bukan berada di belakang yang mendorong bawahannya namun sembunyi ketika kebijakannya disoroti. Pemimpin transformatif adalah pemimpin yang menjadikan bawahannya sebagai mitra, ‘bergandengan tangan’ membentuk sinergi menuju tujuan bersama. (*penulis adalah Pemimpin Redaksi Media Nusakini)