(Opini) Problem GDP Dalam Kacamata Fioramanti

By Admin


Oleh: Ruchul Maani

Pemerhati Kebijakan Publik anggota GNKRI dan G4NKRI


nusakini.com - Beberapa waktu lalu saya diundang untuk menjadi penanggap dalam bedah buku “Problem Produk Domestik Bruto” Karya Lorenzo Fioramonti yang diadakan oleh GNKRI. Beberapa hari sebelum kegiatan bedah buku tersebut dimulai, saya sempatkan untuk membaca buku tersebut. Pokok-pokok pikiran yang saya tangkap dari buku Fioramonti tersebut secara garis besar adalah kritik terhadap GDP yang selama ini dianggap sebagai sebuah indikator kemajuan ekonomi yang terlalu dibesar-besarkan, padahal banyak mengandung kelemahan. Di antaranya, GDP tidak menghadirkan kenyataan adanya kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan. 

GDP adalah sebuah indikator statistik yang pertama kali dikenalkan oleh Simon Kuznet untuk mengukur setiap produk yang dihasilkan oleh setiap warga negara. Jika hari ini seorang tukang gorengan menghasilkan satu buah risol atau bakwan dan dikonsumsi oleh pelanggan, maka setiap seribu rupiah yang diterima oleh tukang gorengan dari pelanggannya tersebut masuk ke dalam angka GDP. Jika ada bakwan yang terbuang dan tidak terkonsumsi, maka dia tidak masuk ke dalam GDP. 

GDP memang bisa disebut sebagai penemuan terbesar abad 20 mengingat manfaatnya yang besar. Misalnya, untuk menentukan besaran peredaran uang, untuk menentukan kebijakan produksi sebuah barang, untuk memperkirakan besaran subsidi, dan masih banyak kebijakan-kebijakan makro ekonomi lainnya yang membutuhkan statistik GDP untuk dijadikan sebagai basis data. 

Namun sayangnya, GDP sepanjang perkembangannya sejak ditemukannya pertama kali pada tahun 1930-an, seringkali digunakan sebagai instrumen politik dan propaganda pemerintah. Salah satu contohnya, Pasca peristiwa 11 september, Bush meminta warganya dan warga uni eropa untuk menggalakkan konsumsi demi memperbesar GDP dalam rangka mendanai perang melawan terorisme. Perlu dipahami, konsumsi merupakan salah satu komponen dari GDP dan merupakan komponen terbesar daripada komponen lain seperti belanja pemerintah, investasi, dan ekspor bersih. Sehingga, semakin besar Konsumsi, semakin besar pula GDP. Pemerintah dapat untung besar dari Pajak yang diperoleh dari konsumsi masyarakat tersebut untuk mendanai perang. 

Di Indonesia sendiri, GDP sering juga digunakan untuk melegitimasi kebijakan makro ekonomi dan diklaim sebagai tolok ukur keberhasilan pemerintah. Hal semacam ini sering terjadi di negara-negara berkembang lainnya. Inilah yang menjadi pokok pikiran utama Fioramonti dalam bukunya. GDP seringkali digunakan untuk tujuan yang lebih politis daripada untuk menentukan kebijakan yang lebih rasional. Sangat kentara betapa Fioramonti “memusuhi” GDP karena daya rusaknya yang dinilai jauh lebih besar daripada daya bangunnya jika terlalu sering digunakan sebagai alat legitimasi politik.


MENEMPATKAN KEMBALI GDP PADA PORSINYA 

Gagasan bahwa GDP memiliki masalah sebenarnya sudah pernah diutarakan beberapa dekade jauh sebelum Fioramonti menjadi seorang ekonom. J.F. Kennedy pernah berkata,

“The gross national product does not allow for the health of our children, the quality of their education, or the joy of their play. It does not include the beauty of our poetry or the strength of our marriages; the intelligence of our public debate or the integrity of our public officials. It measures neither our wit nor our courage; neither our wisdom nor our learning; neither our compassion nor our devotion to our country; it measures everything, in short, except that which makes life worthwhile.”

Intinya, GDP memang mengukur banyak hal terkait output ekonomi. Tapi, bukan hal-hal yang bikin hidup lebih berharga seperti kesehatan dan pendidikan. Kalo boleh jujur, Sejauh ini, hanya Kennedy yang tidak setega itu menggunakan GDP sebagai alat untuk propaganda politik. Justru Kennedy berusaha untuk menempatkan GDP sesuai porsinya saja, yaitu, sebagai statistik ukur output produksi saja! 

GDP itu hanya sebuah instrumen statistik. Tidak lebih! Tapi secara teknokratis, GDP tetap merupakan instrumen yang penting untuk mengukur output ekonomi. Dengan memahami GDP maka setidaknya Pemerintah bisa mengusahakan kebijakan yang proporsional dalam pembangunan. Rumus GDP adalah: 

Y = C (konsumsi masyarakat)+I (investasi)+G (belanja pemerintah)+Export net (X-M)

Dengan mencermati rumus tersebut, maka pemerintah ditantang untuk mengupayakan agar masing-masing komponen memiliki besaran yang proporsional untuk memastikan ekonomi terus bertumbuh. Ibaratnya, G adalah “kepala”, I adalah tangan, X adalah kaki, dan C adalah Lambung. Jika lambung terlalu besar, jelas tidak sehat karena hal itu berarti ekonomi menderita busung lapar. Jika G terlalu besar juga berarti sakit tumor ganas. Jika I atau X yang terlalu besar juga berarti menderita “virus kaki gajah”. Di sinilah perspektif GDP berguna untuk pemerintah mengusahakan agar postur output ekonomi proporsional. 

Jika dirasa bahwa tingkat konsumsi masyarakat sedang lesu, dimana masyarakat lebih senang menyimpan uangnya di dompet khawatir akan resesi, maka pemerintah bisa melakukan pembesaran pada komponen belanja pemerintah, atau bisa juga memperbesar investasi dengan mengundang FDI, atau jika dirasa bahwa devisa sedang menipis, seperti yang dialami oleh dunia saat ini ketika US dollar mengalami penguatan, maka memperbesar ekspor dan Investasi wajib jadi pilihan utama sambil memperkecil G dan menjaga konsumsi agar tidak terlalu rendah. Kombinasi setelan manapun dari masing-masing komponen GDP tersebut mutlak diperlukan untuk menjaga performa pertumbuhan dan menjaga kepercayaan investor asing. Perlu diketahui, salah satu prasyarat investor bersedia berinvestasi di sebuah negara adalah pertumbuhan GDP. Jika GDP lesu, dijamin, investor akan berpikir berkali-kali untuk menanamkan asetnya di dalam negeri. Itu sudah hukum besi ekonomi. Tidak ada investor yang mau buka “toko” di sebuah kota yang penduduknya enggan berbelanja, kan?

Selain itu, dengan menemukenali statistik GDP maka pemerintah dapat mengukur berapa besar peredaran uang di masyarakat, sehingga pemerintah dapat memahami tingkat peredaran uang. melaui pendekatan: 

MV = PY

dimana: 

M: Persediaan Uang

V: Berapa kali uang tersebut berpindah tangan

P: harga produk

Y: GDP real

Cara membaca teori ini adalah nilai GDP real yang dikalikan Harga barang saat itu pasti akan sama dengan Nilai Persediaan Uang dikalikan berapa kali uang digunakan untuk transaksi. 

Dengan memahami GDP dalam hubungannya dengan peredaran uang, tentu Pemerintah memiliki basis pendekatan yang terukur untuk menentukan seberapa besar inflasi disebut normal atau deflasi dibilang sudah tidak bisa ditolerir lagi. Sehingga, Bank Indonesia dapat menentukan kebijakan moneter seperti apa yang paling pas untuk menjaga nilai uang dan inflasi dalam negeri.

Dari paparan singkat tersebut sudah jelas bahwa, meskipun Fioramonti mengatakan bahwa GDP memiliki masalah bukan berarti GDP tidak memberikan manfaat. GDP tetap dibutuhkan untuk kepentingan teknokratis. GDP juga dibutuhkan untuk kepentingan Investor yang pada gilirannya juga akan memberikan efek turunan terhadap dunia ketenagakerjaan. 

GDP menjadi biang masalah manakala digunakan untuk menutupi kenyataan statistik lain seperti Gini Ratio Index, atau Human Development Index (HDI) ataupun Indeks-indeks lainnya yang merupakan bagian dari komponen ukur pembangunan inklusif seperti Kesehatan, Pendidikan, dan Ekologi. GDP menjadi masalah manakala hanya digembor-gemborkan untuk memacu geliat ekonomi tanpa memperhatikan seberapa besar peradaran uang tersebut menjangkau ekonomi menengah kebawah. Jika peredaran uang hanya berputar-putar di kalangan ekonomi menengah atas, jelas akan menjadi Bubble yang siap meletus sewaktu-waktu.