(Opini) Mengenang Mei 1998

By Admin


nusakini.com - SUASANA hari itu,12 Mei 1998 memang mencekam. Tensi politik berada pada titik panas yang tak lagi mampu diprediksi. Para aktivis mahasiswa yang menjadi garda depan gerakan anti rezim Orde Baru telah menemukan elan perjuangannya. Suara parau membahana memekikkan reformasi. Demonstrasi marathon di mana-mana dan para aparat pun di mana-mana. Indonesia, saat itu, berada pada pintu yang demikian menegangkan.

Lalu seperti sebuah drama yang tak bisa diperkirakan, semuanya terjadi: ledakan moncong senjata, korban mahasiswa tumbang di tepi jalan dan jerit perih menyesakkan udara dari para mahasiswa kita. Di sana, darah dan kekacauan meluber jadi satu. Para orang tua yang menyaksikan suasana itu histeris dalam kecemasan tentang anak-anak mereka. Segalanya tak bisa lagi dikendalikan. Beberapa mahasiswa pun tak pernah kembali mengetuk pintu rumah dan menyapa ibunya.

Tanggal 21 Mei, Kekuasan yang pernah mencorong dengan kekuatannya yang nyaris sempurna itu runtuh. Presiden Soeharto menyatakan mengudurkan diri dan meletakkan jabatan yang telah digenggamnya selama lebih 32 tahun. 

Lalu kita kembali mengikuti jejak peristiwa itu. Mungkin dalam suasana yang lebih jernih. Barangkali, kita memang belum paham apa yang terjadi sebenarnya. Yang kita tahu, para aktivis pejuang mahasiswa kita, anak-anak kita, adik-adik kita, tak pernah kembali lagi. Dan untuk kesekian kalinya, Republik ini menorehkan sejarah kelam dalam benak zaman.

Pada setiap bulan Mei, para orang tua yang telah kehilangan buah hatinya itu, kembali bertanya, menyeru tentang pertanggungjawaban. Di bawah terik dan hujan, setiap 12 Mei, pertanyaan itu menggema hanya untuk kembali membentur tembok.

Apa boleh buat, di negeri ini, memang ada demikian banyak peristiwa hanya menggantung di langit tanda tanya. Sepertinya, kita demikian tak berdaya dalam meletakkan kebenaran tepat di hadapan hidung kita masing-masing.

Ini dosa sejarah yang terus menjadi beban dari generasi ke generasi. Setiap gugatan itu muncul kembali, kita seperti "burung Onta" yang menyembunyikan kepalanya di pasir dan berharap tak ada yang menyorot kita. Negara tiba-tiba berpaling dan menarik selimut seakan-akan semuanya hanya mimpi.

Cerita tentang kekerasan yang coba dirapikan dalam laci lupa di negeri ini memang telah membuat kita tak pernah beranjak "dewasa". Negara seperti mengidap "amnesia sejarah" di tengah ketidakberdayaan kita untuk memaksanya. Tapi sebuah kebenaran tidak akan pernah mampu dibius selamanya. Seperti saat ini, ketika kita kembali membuka perih sejarah itu dalam suasana lebih jernih.

Di sana, kita mampu melihat siapa yang paling bertanggung jawab terhadap tewas dan hilangnya pahlawan reformasi kita ini. Mungkin selama ini, negara tak punya nyali untuk mengungkap dan memberi keadilan kepada para korban, namun barangkali rakyat punya cara sendiri dalam meletakkan peristiwa memilukan ini. Menjadikannya sebagai 'memori kolektif' untuk tidak lagi memberi peluang pada otoritarian dan totaliterisme hadir di republik ini dalam wujud apa pun.* (Makmur Gazali, penulis adalah jurnalis)