(Opini) Korupsi dan Wajah Aneh Prilaku Politik Kita

By Admin


Oleh: Muh Saifullah  

nusakini.com - ADA yang mengatakan bahwa “rasa malu” terhadap sebuah perilaku merupakan wilayah moralitas. Sedang moralitas merupakan sekumpulan nilai yang bersentuhan langsung dengan norma spiritual dan sikap kebudayaan seseorang atau sekelompok orang.

Dengan begitu, dalam konstruksi kausalitas berpikir demikian, bisa dikatakan bahwa terdapat “hukum berbanding lurus” antara norma spiritual, sikap kebudayaan dan implementasi perilaku keseharian seseorang atau kelompok orang. Semakin kuat nilai spiritual akan semakin mengentalkan sikap kebudayaan yang kemudian akan melahirkan prilaku dengan integritas kepribadian yang juga mumpuni.

Namun agaknya, filsafat seperti ini akan menjadi “mati kutu” ketika diperhadapkan pada realitas kekinian dalam sebuah wilayah yang berlabel; “republik seribu satu paradoks”. Entahlah, pada rangkaian mana dari keterkaitan norma, nilai serta prilaku ini mengalami semacam “missing link”.

Yang pasti,  terkadang kita demikian tergeragap oleh sebuah realitas yang demikian “melecehkan akal sehat” kita sebagai manusia. Inilah kondisi di mana manusia benar-benar telah mengalami semacam “keretakan psikologis”. Apa yang dalam nilai moralitas, sikap kebudayaan dan integritas prilaku, tiba-tiba berjumpalitan dan tidak saling kait-mengkait.

Bagaimana tidak, dalam realitas kekinian dalam “republik seribu satu paradoks” ini, berbagai ragam keanehan serta anomali tumpah ruah dan berkelindan. Bagaimana kita bisa membayangkan dalam sebuah realitas, kita bisa menemui sebuah konstruksi “mental” yang demikian tak memiliki kesinambungan antara norma spiritual, nilai budaya dengan perilaku keseharian kita.

Bagaimana kita bisa menjelaskan seseorang yang terlihat terpelajar, nampak alim dalam sikap keagamaan, mampu melakukan perbuatan yang sangat dibenci oleh norma-norma spiritualnya sendiri. Bagaimana kita menjelaskan gambaran "rusaknya" nurani yang selama ini dipercaya sebagai “penegak” dari nilai-nilai moralitas yang menyambungkannya dengan norma spiritualitas yang diyakininya.

Dengan demikian, dalam realitas “republik seribu satu paradoks” ini, yang terjadi bukanlah runtuhnya nilai moralitas dan tumpulnya norma spiritualitas. Di republik semacam ini, nuansa spiritual dan “teriakan” tentang perlu tegaknya moralitas demikian membahana. Suasana spiritualitas itu demikian “menyatu” dalam keseharian.

Di Media, di ruang-ruang publik dan di rumah-rumah ibadah, kita demikian terlihat “suci”. Namun aneh dan sifat paradoksnya kemudian bermula di sana. Karena norma dan nilai moralitas yang terkandung dalam suasana tersebut, sama sekali tidak mampu teringrasi dengan kebanyakan prilaku kita. “Missing link” ini demikian menganga sehingga tidak lagi menyadarinya, bahkan dalam situasi khusus, memang kita tidak mempersoalkannya, apalagi menaruh kepedulian di sana.

Konstruksi mentalitas kita telah berhasil membuat “missing link” tersebut dengan begitu halus dan sempurna. Sehingga kita tak lagi merasakan ada “nurani” yang kadang menjadi alarm bagi tegaknya keyakinan kita terhadap nilai-nilai moralitas itu. Inilah barangkali yang menjelaskan bagaimana kebanyakan para koruptor, alih-alih merasa malu, justru  terlihat tak merasa bersalah sama sekali. Bahkan pada umumnya, mereka mempertontonkan tingkat “kesucian”nya dengan berbagai simbol-simbol kedekatan mereka terhadap agama.

Yang lebih aneh dan paradoks lagi adalah kebanyakan masyarakat kita memperlakukan mereka secara ambigu dan mendua. Bila yang terkena kasus adalah orang lain maka hujatan dan kutukan sebagai perampok uang rakyat begitu berkobar.

Namun ketika yang terkena kasus adalah kerabat, kenalan atau semacam patron mereka dalam politik, maka pembelaan serta pemaafan demikian mengalir. Dengan sikap tak berdosa dan tak ada rasa malu dari koruptor dan reaksi yang ambigu dari masyarakat seperti itu, maka penegakan hukum terlihat seperti “menegakkan benang basah”. Kerena bagaimana pun, tujuan akhir dari penegakan hukum adalah membuat pelaku jera serta membuat orang lain jerih untuk melakukan perbuatan yang sama. Sementara semua hal tersebut tidak lagi berlaku pada "republik seribu satu paradoks" ini * (penulis adalah pemerhati politik dan kebijakan publik)