(opini) Covid-19, Antara Nalar dan Narasi

By Abdi Satria


Oleh : M Ridha Rasyid

(Pangamat Sosial dan Praktisi Pemerintahan)

Di tengah merebaknya Corona Virus Disease di akhir Tahun 2019 (Menurut penelusuran otoritas China di akhir Nopember) di Wuhan, Propinsi Hubei, China, yang kemudian diberi nama Covid19 berbagai narasi mengemuka di seantero jagad maya.

Tidak kurang dari satu milyar penduduk bumi mengakses internet untuk mengetahui apa itu corona virus atau virus corona hanya dalam waktu tiga hari. Hingga tulisan ini saya buat informasi pengelola Google dan sejumlah mesin pencari lainnya sudah dicari kurang lebih empat milyar manusia.

Dengan latar belakang pendidikan, adat budaya dan ekonomi para interneter itu kemudian berkomentar sesuai sudut pandang masing masing. Tidak kurang dari mereka membuat meme dengan asumsi macam macam, tergantung ilusi apa yang sedang terlitas dalam pikiran mereka.

Ada yang lucu dan mengundang tawa, ada pula yang nyeleneh seolah marah terhadap mahluk kecil tapi beringas ini. Ada juga yang menganggap virus ini adalah senjata kimia yang dicoba dipertontonkan kalau tidak bisa kita katakan sedang diuji coba.

Selain itu ada yang pasrah bahwa ini mungkin dari kehendak alam yang sedang "marah". Namun tidak sedikit dari mereka ingin mencari lebih jauh apa dan bagaimana gerangan cara kerja mahluk yang amat halus.

Dari macam macam pendapat dan pandangan, mengusik kalbu dan akal kta, tentang bagaimana mereka mengemukakan ide ide itu menjadi sesuatu yang dapat diterima nalar. Seperti kita tahu bersama bahwa nalar itu adalah salah satu kemampuan manusia untuk berpikir rasional tentang sesuatu yang ada dan sedang terjadi.

Atau dengan kata lain, analisa terhadap suatu benda atau keterangan, bahwa hal itu berdesakan dengan fakta dan data. Tetapi, mungkin ini barangkali, disebabkan kepanikan kita tatkala badan kesehatan dunia, menyatakan bahwa epidemi ini bukan sekedar wabah, yang bisa dilokalisir terjadinya.

Tidak ada metode dan cara yang mampu secara efektif mengatasinya agar tidak "menyeberang" ke wilayah lain. Terlalu cepat dibandingkan kemampuan kita untuk menghentikannya.

Oleh karena pergerakan manusia yang tidak akan pernah bisa dihentikan oleh siapapun, pada saat yang sama, virus ini amat"canggih" pergerakannya sehingga tidak dapat dideteksi dini. Gejala yang ditimbulkan berbeda pada setiap orang, tergantung imunitas seseorang untuk menampakkan gejala umum.

Yang pasti, banyak sinonim gejala pada berbagai penyakit flu dan maupun tipes. Maksudnya, pada beberapa penyakit, seperti tipus, batuk pilek,asma maupun kecapean yang mengakibatkan suhu badan naik, ada gejala bbatuk dan sesak napas juga terjadi pada penyakit yang diakibatkan oleh virus ini

Keseimbangan Nalar

Menjadi menarik dari pemberitaan maupun narasi di media sosial, sebab banyaknya gagasan gagasan yang kesemuanya bertumpu pada keinginan untuk memahamkan kepada publik bahwa virus corona ini atau Covid19 sangat berbahaya, mudah penularannya, dan sangat cepat.

Bisa mengenai banyak orang tanpa memilih strata dan sosial. Mulai pejabat tinghi negara sampai ke rakyat jelata sekalipun bisa terjangkiti. Tidak rakyat biasa tapi termasuk profesi dokter yang paham betul cara kerja suatu virus menyerang sesorang, juga tersakiti oleh liliput samar tetapi ada ini.

Luar biasa. Mungkin hanya kata itu yang bisa terucap bagi mereka yang masih awam ketika mendengar penjelasan para ahli. Dengan uraian maupun tulisan, baik yang panjang dan bertele tele, tulisan pendek tetapi tidak jelas, ataupun secara gamblang menceritakan "kinerja" virus ini, timbul ketidak-seimbangan nalar kita.

Di satu sisi, memerlukan penjelasan ilmiah dan bertanggung jawab, di sisi lain, tidak bisa juga menghentikan mereka untuk menulis apa saja, sesuai apa yang dia tahu tentang benda imut ini, yang pasti tingkat partisipasi masyarakat dunia begitu antusias.

Dari catatan lembaga komunikasi berpusat di Amerika Serikat, menyatakan bahwa percakapan di media sosial dalam dua empat jam sehari, delapan belas jam diantaranya berseliweran meme dan narasi yang membahas virus ini. Menakjubkan. Belum pernah ada, katanya, suatu kejadian sepanjang informasi teknologi ini menguasai peradaban manusia, sehebat virus ini.

Apakah kemudian ini yang menyimpulkan badan kesehatan dunia sehingga meningkatkan status penyebaran covid19 sebagai pandemi. Bisa jadi. Saat ini sudah lebih dari 100 negara, ada yang menyatakan 176 negara , 

Pertanyaan kita kemudian, di mana nalar kita agar kita bisa secara bijak "mengkomunikasikan" perang melawan virus ini. Jawaban sesungguhnya kembali terpulang pada diri kita. Kita tidak lagi "menganggap" penting apa kata pengambil keputusan. Karena itu akan diterjemahkan oleh masyarakat sesuai apa yang mereka kita ketahui atau mungkin mereka tidak tahu, sehingga apapun bisa terucap dan tertulis.

Keseimbangan nalar menjadi hal yang tidak diperlukan manakala kita sedang panik, emosi yang tidak terkendali. Semua yang ada dipikiran kita akan ternafikan oleh perasaan amarah dan bertanya. Mengapa semua ini terjadi?

Narasi sehat

Mungkin ini tidak penting tetapi harus dilakukan. Betapa tidak, pembendungan informasi adalah sesuatu yang mustahil di tengah keterbukaan dan kemudahan mengaksesnya. Hanya ada satu cara, deskripsikan dengan baik, jelas, terukur dan bertanggung jawab. Ini yang kita sebut narasi yang sehat.

Dalam narasi yang baik, tidak hanya menjelaskan apa yang sedang dan akan dilakukan, namun juga menjelaskan secara jujur apa yang telah gagal dilakukan, untuk kemudian mencari alternatif solusi untuk memecahkan.

Masalahnya. Kita harus tahu apa penyebabnya, lalu menempuh langkah apa yang seharusnya diambil. Tidak hanya pada satu orang atau institusi, dengan pelibatan banyak pihak diharapkan memberi solusi, atau paling tidak ada jalan keluar yang bisa diputuskan bersama. Hadirnya pemerintahan di mana pun yang terkena dampak dari penyebaran virus ini, merupakan keniscayaan untuk mendengarkan banyak pihak. Dari situ, akan lahir kreasi dan gagasan gagasan spesifik dan fokus dapat diambil. Seluruh kemampuan negara dipertaruhkan untuk keselamatan anak bangsanya. 

Bahwa ini persoalan global, persoalan dunia, tidak terbantahkan lagi. Ini tidak bisa bisa ditangani secara parsial, ego sektoral merupakan "musuh" dari virus ini. Covid19 harus dihadapi secara bersama seluruh pengambil kebijakan, di saat yang sama, rakyat harus menahan diri untuk mengurangi aktifitas di luar rumah. Ini adalah tanggung jawab bersama, bahwa covid19 semakin "beraksi" bila masyarakat merasa cuek, lebay, tidak peduli, masa bodoh, atau tidak mau tahu. Karena dengan sikap seperti itu, membuat kerja kerja pencegahan, pengendalian dan penanganannya, berjalan sia -sia. 

Ajakan untuk menggunakan nalar kita secara baik dan melahirkan narasi sehat di tengah "badai" Covid19 adalah perlu dan kita butuhkan. 

Wallahu 'alam bisshawab 

Makassar, 28/3/2020, .09.02 Wita