( Opini ) Buwas Dalam Pusaran Beras Nasional

By Admin


Penulis : Zaki Nabiha 

ASN di Kementerian Pertanian


nusakini.com - “Aku akan bergabung dengan sirkus, jika badut membangunkanku !”. Ungkapan kekesalan khas ala Hollywood yang meluncur dari mulut Thomas Becket. Sedikit kasar tapi makjleb. Telinga dua prajurit yang menjemputnya kala pagi buta sontak tersengat. Mereka sadar bahwa kedatangannya mengganggu sang penembak jitu. “Dengan segala hormat, anda seharusnya menjadi pelawak”, salah satu prajurit kemudian menjawab dengan lugas seolah tak mau banyak membuang waktu. 

Dialog itu saya kutip dari Sniper 3, film laga yang mengisahkan bagaimana Tom Berenger yang memerankan Thomas Becket, sebagai Marinir AS dan juga penembak jitu yang berhasil menjalankan misi rahasia di Vietnam, menumpas gembong Narkoba. Durasi film ini sama dengan dua film Sniper sebelumnya, 84 menit dengan beberapa bumbu dramatik. Titik dramatik itu salah satunya ketika Thomas Becket harus mengambil keputusan cepat, apakah menerima atau menolak misi yang diberikan oleh William Avery, Kepala Badan Keamanan Nasional AS, yang diperankan cukup efektif oleh Denis Arndt. 

Sebagai prajurit senior, bukan kali pertama ini Thomas Becket menghadapi momen genting. Namun, untuk yang satu ini, misi yang diberikan cukup sentimentil dan menguras emosi. Thomas Becket harus menumpas gembong Narkoba yang dijuluki King Cobra, yang tidak lain adalah Finnegan, sahabatnya sendiri yang pernah menyelamatkan hidupnya.  

Sama halnya dengan Becket, dalam kehidupan sehari-hari, kita pun pernah menghadapi momen-momen sulit untuk menentukan sikap. Dan selalu, yang menjadi timbangan utamaya adalah maslahat dan mafsadat. Maka, ada kaidah memilih atau mengambil keputusan yang lazim dilakukan. Jika keputusan atau sikap itu memiliki dampak positif hanya untuk dirinya, maka ia boleh memilih atau memutuskan sesuai dengan kecenderungannya. Tapi jika sikap itu berdampak lebih luas, menyangkut hajat hidup orang banyak, maka harus diambil sikap yang terbaik, yang nilai manfaatnya bisa dirasakan oleh semua orang dan segala lapisan. 

Maka, sikap Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Buwas yang menolak melakukan impor beras, bisa dibaca oleh publik sebagai ikhtiar untuk menghindari mafsadat sehingga nasib dan kepentingan tiga puluh juta petani Indonesia terjaga. Tapi apakah sikap penolakan jenderal bintang tiga yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional itu hanya retorika tanpa data ? 

Neraca beras nasional 2018, dari perhitungan stok awal, proyeksi kebutuhan, proyeksi produksi dan impor yang dilakukan, berdasarkan data dari Kementerian Pertanian dan Bulog menunjukkan bahwa stok beras hingga akhir tahun 2018 sebagai berikut; pada periode Desember 2018, proyeksi kebutuhan beras nasional sebesar 2.788.500 ton, proyeksi produksi sebesar 2.032.800 ton, sementara stok awal 13.384.999 ton, sehingga di akhir tahun 2018, stok akhir beras sebesar 12.629.299 ton. Berdasarkan perhitungan tersebut, Buwas meyakini bahwa di akir tahun 2018 kondisi beras nasional mengalami surplus. Maka tidak heran kita saksikan bagaimana Buwas begitu lantang dan percaya diri, dalam setiap kesempatan menolak melakukan impor dan lebih baik menyerap beras dari dalam negeri. Dan sikap ini tentu harus didukung dan diapresiasi. 

Perdebatan perberasan nasional dari tahun ke tahun berkutat hanya sebatas kuantitas produksi. Sementara, kualitas atau mutu beras kerap luput dari perhatian publik. Padahal publik selaku konsumen berhak atas mutu beras yang berkualitas. 

Dalam satu kesempatan, Buwas pernah mengemukakan bahwa harus diakui, inefisiensi masih terjadi pada industri penggilingan dalam negeri. Teknologi pengeringan dan pengolahan beras yang sekarang diterapkan menghasilkan beras yang beragam. Berbeda halnya dengan negara-negara eksportir beras, yang sudah mampu memproduksi beras bukan hanya dalam jumlah besar, tapi juga dengan mutu tinggi yang seragam. Pada konteks ini, mungkin perlu dikaji ulang untuk kembali memberlakukan harga sesuai kelas mutu beras. 

Buwas tentu ingin merubah reputasi Bulog di mata publik. Dan saya kira, alasan gudang Bulog penuh yang menjadi perdebatan dengan Menteri Perdagangan, yang kemudian viral di Medsos adalah untuk menghindari overstock yang bisa berimplikasi peningkatan biaya penyimpanan dan perawatan sehingga Bulog tidak bisa melepaskan image bahwa beras Bulog di mata masyarakat bau, apek, tidak berkualitas. Maka, menurut saya wajar kiranya jika Buwas mengatakan, maaf, “Matamu!”, kepada pihak yang tidak sejalan dengan sikapnya, ketika ia ingin mengoptimalkan produksi beras dalam negeri. Yah, “Matamu!”, mungkin serupa dengan ungkapan kekesalan Thomas Becket seperti di awal tulisan.