Moeldoko: Agar Tak Seram dan Jadi Menyenangkan, Jangan Sebut ‘Tahun Politik’, Tapi ‘Tahun Pesta Demokrasi’

By Admin


nusakini.com - Jakarta – Tahun 2018 dan 2019 sebaiknya tidak terus disebut sebagai ‘tahun politik’, tapi mari kita ganti dan biasakan dengan sebutan ‘tahun pesta demokrasi’. Istilah ini perlu agar tidak timbul kesan menyeramkan, baik di dunia politik, ekonomi, maupun sosial.

Pernyataan itu ditegaskan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat menyampaikan Kuliah Tamu bertema 'Tantangan Nasionalisme di tengah Globalisasi Bagi Mahasiswa Zaman Now' di depan 200 mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo, Jakarta, Rabu, (21/3/2018) seperti dilansir dari situs ksp.go.id.

“Pemilihan kepala daerah, anggota legislatif dan pemilihan presiden itu siklus rutin. Mari kita sikapi secara bijak dan jalani dengan menyenangkan,” kata Moeldoko.

Sesuai topik kuliah umum yang dimoderatori Dekan Fisip Universitas Prof. Dr. Moestopo, Dr. Taufiqurokhman, M.Si, Kepala Staf Kepresidenan menyatakan, apa itu nasionalisme? “Nasioanlisme adalah rasa cinta dan bangga pada tanah air. Namun, ada beberapa hal yang membuat kita jadi tak bangga pada tanah air,” katanya.

Menurut Moeldoko, masih ada hal-hal yang membuat kita kurang bangga pada tanah air atau mengurangi rasa nasionalisme, yakni saat kita bicara soal kemiskinan, gizi buruk, stanting dan berbagai hal menyedihkan lain. “Pemerintah serius mengatasi itu,” kata Panglima TNI 2013-2015 ini.

Kepala Staf Kepresidenan kemudian mengutip pernyataan presiden pertama Soekarno: memaknai nasionalisme yang kontekstual, salah satunya adalah mengurangi kemiskinan dalam masyarakat. “Dengan melihat kondisi nasionalisme zaman now, Presiden Jokowi sudah menyiapkan generasi emas: SDM unggul, kompetitif, yang dilahirkan dari berbagai perbaikan, menuju Indonesia Emas 2045,” papar Moeldoko.

Kepala Staf Kepresidenan juga memaparkan peningkatan akses layanan dasar yang berpengaruh pada perbaikan ketimpangan di Indonesia. “Berbagai langkah konkret dilakukan pemerintah agar dapat terus menekan ketimpangan. Rasio Gini Indonesia pun terus menunjukkan perbaikan dalam mempersempit kesenjangan,” kata Moeldoko.

Anak Muda Harus Berani Hadapi Tantangan

Mantan Wakil Gubernur Lemhanas ini menegaskan, dalam iklim politik saat ini, semua orang bisa menjadi apapun, dan kapanpun. Untuk itu, sebagai calon pemimpin, mahasiswa harus mempersiapkan diri menuju masa depan.

 “Motto saya, tantangan adalah kebutuhan. Anak muda jangan mudah ciut nyali menghadapi tantangan. Ayo optimistis!” ajak Moeldoko.

Alumnus Akabri 1981 peraih Bintang Adhi Makayasa ini meminta anak muda agar berkreasi menciptakan lapangan pekerjaan. “Jangan hanya berpikir untuk bekerja yang itu-itu saja. Sekarang zaman berwirausaha, bikin start-up dan lain-lain,” kata Moeldoko.

Ayah sepasang anak ini kemudian memberi contoh nyata. “Saya melatih dua anak saya untuk mandiri. Masuk dunia bisnis dan berani ambil keputusan. Siap menghadapi kekecewaan. Haram hukumnya masuk bisnis tentara saat bapaknya jadi Panglima TNI,” tekannya.

Terkait pertanyaan atas berkembangnya berbagai paham radikalisme, Kepala Staf Kepresidenan menegaskan, ideologi kita terbuka terhadap berbagai isme-isme yang berkembang. Karena itu, solusinya, anak muda harus memperkuat diri kita pada pemahaman tentang ideologi Pancasila.

“Yakinlah pada Pancasila sebagai ideologi yang benar. Banyak negara lain mengagumi bagaimana mengelola negara kita yang sangat besar ini sebagai sebuah kesatuan,” kata mantan Pangdam Tanjungpura dan Siliwangi ini.

Pesan menjelang pesta demokrasi juga disampaikan dengan gamblang olehnya, “Kepada orang-orang yang mengaku dirinya negarawan, jangan gunakan isu SARA sebagai instrumen untuk kepentingan pragmatis!” 

Moeldoko mengingatkan berbagai pihak agar menggunakan tempat ibadah sebagai mana mestinya. “Jangan gunakan tempat ibadah untuk kampanye atau kepentingan politik praktis,” pungkasnya.(p/ma)