Minimalkan “Phobia Riba” Terhadap Perbankan

By Admin


nusakini.com-Semarang – Tingkat pemahaman dan pemanfaatan produk-produk keuangan syariah di Jawa Tengah perlu terus didorong. Pasalnya, indeks literasi dan iklusi keuangan syariah masih rendah apabila dibandingkan dengan indeks literasi dan keuangan konvensional. 

Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 3 Jawa Tengah dan DIY Aman Santosa mengungkapkan, berdasarkan hasil survei literasi keuangan OJK, pada 2016 tingkat literasi atau pemahaman dan tingkat inklusi atau pemanfaatan masyarakat terhadap produk-produk keuangan syariah masih rendah. Hal itu ditunjukkan dengan indeks literasi keuangan syariah yang baru mencapai 8,11 persen dan indeks inklusi keuangan syariah sebesar 11,5 persen. 

“Sementara itu, indeks literasi keuangan konvensional mencapai 29,66 persen dan indeks inklusi keuangan konvensional sebesar 67,82 persen,” terangnya saat menghadiri Seminar Nasional Islamic Finance Challenge 2018 bertajuk “Mewujudkan Jawa Tengah dan DIY sebagai Poros Pertumbuhan Ekonomi dan Keuangan Syariah”, di Kantor OJK, Kamis (22/11). 

Aman Santosa menjelaskan, pihaknya bersama industri jasa keuangan turut serta dalam menyosialisasikan produk keuangan syariah kepada masyarakat. Di antaranya menyelenggarakan seminar nasional Islamic Finance Challenge 2018. Meski tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah masih rendah, namun Aman Santoso optimistis pertumbuhan ekonomi syariah akan berkembang pesat di Indonesia. 

“Kami mengharapkan market share keuangan syariah dapat berdaya dengan keuangan konvensional, mengingat Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk mengembangkan keuangan syariah, tercermin dari jumlah penduduk muslim sebanyak 207 juta jiwa. Saat ini share perbankan keuangan syariah masih sebesar 8,58 persen di posisi September 2018,” tambahnya. 

Senada dengan Aman Santoso, Wakil Gubernur Jawa Tengah H Taj Yasin Maimoen menjelaskan, beberapa tahun terakhir perekonomian berbasis syariah berkembang cukup pesat. Perkembangan itu ditandai dengan munculnya berbagai lembaga keuangan syariah, seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah, koperasi syariah, bahkan BMT yang muncul dari pondok-pondok pesantren untuk mengembangkan ekonomi syariah. 

“Di daerah-daerah mulai muncul perbankan syariah. Kalau dulu kita mencari bank syariah di empat kabupaten, mungkin hanya ada dua atau tiga, tetapi sekarang setiap kabupaten mulai muncul perbankan syariah, bahkan merambah hingga kecamatan,” jelasnya. 

Gus Yasin, sapaan akrabnya, mengakui beberapa kalangan masih menilai aktivitas perbankan identik dengan riba yang dilarang dalam ajaran agama Islam. Oleh sebab itu, sumber daya manusia (SDM) mumpuni yang berkecimpung di bidang perbankan syariah diminta untuk memberikan pemahaman yang tepat tentang sistem perbankan syariah berbasis bagi hasil. 

“Kita berharap SDM perbankan syariah bisa menerangkan lebih detail kepada masyarakat, bahwa bank syariah itu bukan riba, tapi bagi hasil. Karena bagi hasil, maka ada naik atau turunnya. Kalau ada kerugian, harus berani menanggungnya bersama-sama antara peminjam maupun yang bank. Masyarakat juga mengetahui uangnya diinvestasikan ke mana, sehingga masyarakat tidak lagi phobia terhadap perbankan,” pungkasnya.(p/ab)