Mengintip Penelitian Bioindustri di Maluku yang Responsif Gender

By Admin

Foto/dok BPTP-Balitbangtan Maluku

nusakini.com - Penelitian bioindustri di Maluku dimotori oleh BPTP-Balitbangtan Maluku. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Maluku Tengah, tepatnya di Desa Mesa, Kecamatan TNS. Pada triwulan terakhir tahun 2016 lalu, Tim peneliti BBP2TP-Balitbangtan melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan petani kooperator kegiatan bioindustri, baik petani laki-laki dan perempuan. Para petani ini merupakan anggota dari Gapoktan Usaha Baru yang memiliki 3 kelompok tani, yaitu: Taruna Tani Yabok, Kalwedo, dan Tunas Baru. 

Dilansir dari website resmi Litbangtan Kementan, Rabu (15/3/2017), FGD tersebut ditujukan untuk menggali data berdasarkan parameter Akses, Kontrol, Partisipasi dan Manfaat (AKPM) dari penerapan teknologi yang diintroduksi. AKPM itu sendiri merupakan pendekatan yang biasa digunakan untuk mempelajari suatu aktivitas produksi apakah responsif gender atau tidak. Dengan kata lain, pendekatan AKPM dimaksudkan untuk melihat bagaimana peta pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam penerapan teknologi bioindustri tersebut.

Di Maluku, topik penelitian bioindustri yang diambil adalah berbasis integrasi kelapa, kakao, dan sapi (cocabeef). Dengan demikian, introduksi teknologi didasarkan pada komoditas tersebut. Adapun tujuan penelitian ini ada dua hal, yaitu peningkatan produktivitas dan peningkatan nilai tambah.

Berdasarkan hasil FGD, diperoleh gambaran umum, bahwa pada setiap tahap kegiatan introduksi teknologi, laki-laki dan perempuan memiliki proporsi AKPM sesuai dengan kemampuan dan perannya. Misalnya, dalam introduksi teknologi peremajaan kelapa, porsi laki-laki lebih dominan karena aktivitasnya membutuhkan tenaga lebih besar. Sementara pada introduksi teknologi pengolahan kopra putih atau minyak sehat, perempuan memiliki porsi yang lebih besar.

Demikian halnya, pada penerapan teknologi kakao, petani laki-laki dan perempuan memiliki proporsi AKPM yang beragam. Bahkan pada beberapa teknologi keduanya memiliki porsi yang sama. Misalnya seperti yang terlihat dari penerapan teknologi sambung pucuk dan sambung samping, perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1:1.

Sementara itu, nilai AKPM pada introduksi teknologi peternakan menunjukkan bahwa laki-laki berperan lebih dominan terutama pada teknologi penanaman hijauan pakan ternak (HPT). Hal ini ditunjukkan oleh proporsi 2:1 antara laki-laki:perempuan ketika melakukan tiga kegiatan antara lain: pengolahan lahan untuk HPT, pengambilan kotoran ternak dari kandang ke lahan, dan panen HPT untuk lumbung pakan.

Maka, melihat hasil analisis AKPM terhadap penelitian bioindustri di Maluku, dapat dikatakan bahwa penerapan teknologi pada subsistem produksi kelapa, kakao dan ternak sapi telah responsif gender. Artinya, kegiatan tersebut telah menempatkan laki-laki dan perempuan sesuai perannya. Selain itu, inovasi yang diperkenalkan pun telah disesuaikan dengan kemampuan penerimanya.

Demikianlah salah satu manfaat dari pendekatan AKPM, yaitu memberikan rekomendasi bagi perlunya penyesuaian antara pilihan teknologi dengan penerimanya. (p/mk)