Menag Ajak Muslim Dunia Suarakan Islam Sebagai Agama Kedamaian

By Admin

nusakini.com--Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengajak umat Muslim di berbagai penjuru dunia untuk menyuarakan Islam sebagai agama kedamaian. Ajakan ini disampaikan Menag saat menjadi pembicara pada Konferensi Internasional di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.  

Konferensi ini diselenggarakan oleh Muntada Ta`ziiz al-Silm fi al-Mujtama`aat al-Muslimah (Forum untuk Mempromosikan Budaya Damai di tengah Masyarakat Muslim) dengan tema Perdamaian Dunia dan Islamphobia.  

Menurut Menag, tugas ulama (cerdik cendekia) dan hukama (orang-orang bijak) semakin berat, di tengah konflik antar umat Islam sendiri serta kampanye benturan peradaban, Islam dan Barat. Apalagi, peristiwa 11 September 2001 di Amerika telah menimbulkan ketegangan dalam hubungan antara Islam dan Barat kembali terbuka.  

Meski dunia Islam mengecam dan mengutuk aksi tersebut, tetapi kencenderungan menjadikan Islam dan umat Islam sebagai ‘tersangka’ terus semakin meningkat. Setiap aksi kekerasan (terorisme) yang dilakukan sekelompok kecil umat Islam dan mengatasnamakan Islam, padahal Islam tidak merestuinya, selalu dikaitkan dengan Islam sebagai agama kekerasan yang tidak bisa bersanding dengan komunitas dan peradaban lain.  

Kondisi ini diperburuk dengan kampanye Islamophobia yang disuarakan pihak-pihak tak bertanggung jawab hingga menyuburkan fenomena kebencian dan ketakutan terhadap Islam. Begitu meratanya fenomena tersebut, sehingga politik identitas di Eropa kembali menguat belakangan ini. Tebar kebencian terhadap Islam dan umat menjadi komoditas politik yang diminati untuk mendulang suara dalam setiap pemilihan umum. 

“Di tengah situasi seperti ini, kita harus terus menyuarakan secara lantang Islam sebagai agama kedamaian. Islam mengajak umat manusia untuk hidup dengan aman dan damai,” terang Menag dalam pidato yang disampaikan dalam Bahasa Arab di Abu Dhabi, Senin (11/12).  

“Esensi ajaran kedamaian bisa ditemukan dari nama Islam itu sendiri yang berasal dari satu akar kata dengan al-silm yang berarti kedamaian. Itulah esensi semua ajaran agama yang disampaikan oleh para nabi, termasuk Nabi Musa dan Nabi Isa,” sambungnya.  

Menag mengatakan, Islam mengajarkan umatnya untuk menebar kedamaian melalui ucapan dan perbuatan, baik kepada yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Ketika ditanya, bagaimana cara berislam yang paling utama, Rasulullah menjawab, “tuth`imu al-tha`âma wa taqra`u al-salâma `alâ man `arafta wa man lam ta`rif (memberi makan orang miskin dan mengucapkan salam kepada yang dikenal dan yang tidak dikenal).  

“Ketika umat Islam diminta untuk saling menebar salam, itu berarti tidak ada tempat di dalam Islam bagi kekerasan dan kebencian. Tebar kedamaian akan melahirkan cinta dan kasih sayang, sekaligus membuang jauh-jauh rasa kebencian dan permusuhan,” tuturnya.  

Mengutip hadis, Menag mengatakan bahwa Rasulullah pernah berpesan, “Kamu tidak akan masuk surga sampai kamu beriman, dan kamu tidak dinyatakan beriman secara benar sampai kamu bisa saling mencintai. Maukah kamu aku tunjukkan cara yang membuatmu bisa saling mencintai? Tebarkan salam kedamaian di antara kamu”.   

“Kita harus bisa membangun ketahanan dalam tubuh umat Islam agar tidak terjebak pada pemahaman ekstrem yang akan merusak citra Islam dan umat Islam,” ajaknya. 

Bangun Dialog 

Lantas bagaimana menyikapi fenomena Islamophobia? Menurut Menag, tidak ada jalan lain kecuali membangun dialog antara Islam dan Barat. Membesar-besarkan tesis benturan peradaban hanya akan menciptakan rasa takut dan cemas, sehingga akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mewujudkan tujuan yang bertentangan dengan upaya membangun perdamaian.  

“Sejak awal, Islam tidak mengenal konsep benturan antar peradaban. Sebaliknya, Islam mengajak untuk membangun jembatan komunikasi melalui dialog,” ucapnya.  

“Perbedaan agama, budaya dan peradaban bukan untuk dibenturkan, tetapi untuk didialogkan dalam kerangka “lita`ârafû” (saling mengenal). Semua peradaban umat manusia bercita-cita membangun sistem kehidupan yang menjamin rasa keadilan, keamanan dan stabilitas. Konflik dan perang selamanya tidak akan pernah menyelesaikan masalah,” sambungnya. 

Menag mengakui bahwa tidak mudah untuk membangun dialog di tengah hilangnya kepercayaan dari masing-masing pihak. Jika masyarakat Barat ada yang memiliki ‘perasaan’ terancam dari umat Islam, maka umat Muslim juga merasakan luka mendalam akibat kolonialisme Barat, terutama dalam masalah Palestina yang tak kunjung selesai.  

“Untuk itu, masing-masing pihak harus bisa memahami perasaan pihak lain, dan menempatkan akal sehat, sehingga dialog dapat berlangsung secara obyektif,” harapnya. 

Menurut Menag, hegemoni yang kuat terhadap yang lemah harus dibuang jauh-jauh, dan sebagai gantinya harus ada penghormatan terhadap kekhasan masing-masing peradaban atas dasar persamaan. Pengambilan keputusan secara sepihak yang merampas kewenangan organisasi-organisasi internasional dan melanggar kesepakatan internasional tidak akan mendukung terciptanya perdamaian dunia, bahkan hanya akan membawa dunia dan kemanusiaan ke dalam jurang kehancuran.  

“Saya percaya, masih banyak suara-suara hati dan akal sehat yang akan mencegah kesewenangan dan hegemoni negara-negara tertentu. Meski harus menempuh jalan panjang dan terjal, kita tidak boleh berhenti menyeru kepada jalan kedamaian,” tandasnya. 

Sekitar 700 tokoh ulama dan cendikiawan dari berbagai negara hadir dalam konferensi ini. Adapun dari Indonesia, hadir Prof. Quraish Shihab, Prof. Amany Lubis, Prof. Amal Fathullah. Menag hadir didampingi Sekretaris Menteri Khoirul Huda Basyir dan Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al Quran Muchlis M Hanafi. (p/ab)