Memanjakan Jemaah Sebelum Wukuf

By Admin

nusakini.com--Buat Sofwan, penambal ban berusia 85 tahun, tidur di Hotel Lu’luat Makkah berlantai marmer adalah kemewahan yang tidak pernah ia bayangkan. Lelaki asal Semarang, Jawa Tengah, itu hanya tahu bahwa berhaji berarti menjalankan ibadah yang sangat berat : ribuan orang berdesak-desakan saat tawaf, ratusan ribu orang berhimpit-himpitan saat melempar jamarat, serta jutaan orang berpanas-panas berkemah di Arafah dan Mina. Jauh sebelum itu mereka harus tinggal di ribuan pemondokan tak terurus, makan susah, mandi berebut, naik bus tanpa AC dengan bangku jelek dan sopir cerewet. 

Bayangan buruk itu ternyata tak didapat Sofwan yang saat ini tinggal di lantai 14 hotel mewah di jantung kota suci Makkah. Setelah menabung sambil menunggu antrian selama 15 tahun, lelaki kurus dengan kulit keriput itu kini merasa seperti raja minyak di hotel bertingkat 19 itu. Pagi-pagi usai salat subuh dia sudah bikin teh atau kopi, sambil menunggu sarapan pagi roti dan kue lainnya tiba. Pukul 11:00 jatah makan siangnya sudah tiba, dengan menu Indonesia yang berganti-ganti setiap hari. Ada nasi pecel plus telur dadar, bakso dan perkedel, sayur lodeh plus ikan asin, bahkan sayur asem dan tahu goreng. Daging? Jangan tanya lagi. Sebagian besar orang seusia Sofwan bahkan memohon-mohon agar menu daging dikurangi saking seringnya. 

Sofwan, bersama 221.000 jamaah haji Indonesia lainnya yang tengah menuggu saat wukuf tiba, nyaris tak punya komplain dengan hotel-hotel bagus yang mereka tempati. Beberapa hotel bahkan menyediakan fasilitas fitness, game, dan cafe-cafe bernuansa romantis. Setiap hotel bahkan wajib punya tempat salat yang luas sebelum disewa, dengan permadani-permadani tebal dan bersih.

Ketika perut mereka masih kenyang sejak tadi makan siang, pukul 17:00 jatah makan malam mereka tiba, juga dengan menu Indonesia yang tak kalah variasi. Jemaah tentu tak ada yang mau sakit. Tapi jika kenyataan pahit itu harus mereka hadapi, dokter-dokter asal Indonesia dengan fasilitas rawat yang memadai telah tersedia di semua hotel, tanpa terkecuali. 

Pemerintah, lewat Kementerian Agama, memang telah berusaha keras memperbaiki semua fasilitas akomodasi, transportasi, dan katering jemaah haji semaksimal mungkin. Di bawah komando Lukman Hakim Saifuddin, Kemenag melakukan revolusi pelayanan ibadah haji besar-besaran sejak di penghujung era Susilo Bambang Yudhoyono lalu dilanjutkan di era Jokowi. Survei kepuasan jamaah atas semua fasilitas itu dilakukan setiap tahun oleh Biro Pusat Statistik dan hasilnya membuat decak kagum. Setiap tahun, indeks kepuasaan jemaah terus meningkat fantastis. 

Hasil survei BPS itu tentu saja bisa diuji di lapangan. Jika berada di Makkah saat ini, Anda akan melihat selama 24 jam bus-bus mewah yang disewa pemerintah hilir mudik tanpa henti dari dan menuju Masjid Haram.

Sebagian besar jemaah ada yang baru keluar hotel langsung bisa naik bus, meski sebagian lain harus berjalan kaki dulu 50 – 100 meter karena letak hotel memang agak jauh dari jalan raya. Mereka yang tinggal di Sektor Enam Mahbas Jin, misalnya, harus berjalan lewat terowongan penyebrangan dulu untuk mencapai bus, tapi mereka yang tinggal di Sektor Lima Mahbas Jin seolah punya bus sendiri yang setiap hari siap mengantar mereka salat berjamaah di depan Kabah. 

"Kalau soal transportasi, akomodasi, juga makanan, kami seperti kehabisan pertanyaan. Pokoknya sudah sangat bagus deh,’’ kata Dr. Samsul Maarif, anggota Komisi Pemantau Haji Indonesia, kepada saya beberapa waktu lalu. 

"Sekarang pertanyaan saya, setelah semua fasilitas kita rasakan maksimal, indikator kemabruran haji sudah diperhatikan oleh Kemenag belum? Fasilitas bagus kalau penguasaan manasik jeblok gimana?’’ 

Jangan khawatir. Apa yang ditanyakan oleh anggota KPHI itu ternyata sudah dipikirkan masak-masak oleh Lukman dan jajarannya. Jika di tahun-tahun sebelumnya hanya ada empat konsultan ibadah haji di Makkah dan dua konsultan di Madinah, kini untuk kali pertama Kemenag menyediakan empat konsultan haji di Madinah dan 14 konsultan ibadah di Makkah. Mereka adalah para profesor, doktor, master atau kyai yang dihormati karena penguasaan mereka atas ilmu fiqih. Semua konsultan itu disebar di 11 sektor yang ada, sedang tiga konsultan yang lebih berpengalaman menetap di kantor daerah kerja (Daker) Makkah. Hampir sebulan kemudian, datang lagi lima konsultan susulan untuk membantu para konsultan yang datang lebih awal. 

Inti tugas para konsultan itu adalah menjawab begitu banyak persoalan manasik haji yang dihadapi jamaah, mulai dari persoalan miqat (tempat awal berhaji atau berumrah), pakaian ihram dengan segala larangannya, tawaf, sai, wukuf, mabit, jamarat dan banyak istilah manasik lain berbahasa Arab yang membuat pusing para jemaah.

Maklum, kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, jadi wajar banyak umat Islam tak akrab dengan ibadah yang satu ini. Nabi SAW hanya berhaji sekali seumur hidup, tapi jenis haji ada tiga. Ini saja sudah menimbulkan banyak perbedaan pendapat dalam mazhab-mazhab. 

Setiap konsultan tentu tak sendirian melayani rata-rata 18.000 jemaah di setiap sektor. Masing-masing mereka ditemani satu petugas pembimbing ibadah. Tapi, berdua saja pun tak cukup melayani para jemaah.

Sebab itu, di setiap kelompok terbang (kloter) juga terdapat petugas ibadah yang menyertai mereka sejak dari bandara masing-masing di tanah air sampai mereka kembali ke tanah air. Selain berceramah dari satu hotel ke hotel lain setiap hari dengan jadwal yang sangat padat, para konsultan ibadah haji itu masih dapat tugas piket di Masjid Harom. Lho, mengapa mereka masih harus piket di masjid suci itu? 

Ssssssssst ... diam-diam saja ya. Terlalu banyak jamaah yang tersesat di masjid raksasa itu karena kebanyakan mereka datang dari kampung dan baru sekali ke luar negeri, banyak juga yang terlepas dari rombongan saat bertawaf atau bersa’i lalu nyasar pulang, bahkan tak sedikit mereka yang menyerah di tengah jalan saat bertawaf atau bersa’i. Saat konsultasi ibadah berlangsung, sejumlah konsultan menemukan kasus saat jemaah laki-laki menggunakan pakaian ihram lalu melaksanakan umrah, ternyata mereka masih menggunakan celana dalam. (p/ab)